Ibu Rumah Tangga Rentan Terpapar Emisi Kayu Bakar

Reading time: 2 menit
emisi kayu bakar
Foto: Arto Marttinen / wandervisions.com

Jakarta (Greeners) – Penggunaan bahan bakar padat pada rumah tangga di Indonesia menjadi salah satu kontributor penyebab kesehatan perempuan terancam. Perempuan, termasuk di dalamnya ibu rumah tangga dan anak perempuan, terpapar gas karbon yang timbul dari penggunaan bahan bakar padat untuk aktivitas masak-memasak setiap hari. Jika dibiarkan, hal ini akan berdampak negatif pada kesehatan mereka.

Menurut Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2015 menunjukkan bahwa penggunaan bahan bakar padat di rumah tangga di Indonesia masih sangat dominan, dengan konfigurasi penggunaan bahan bakar per desa/per kelurahan sebagai berikut; gas kota 88 kelurahan, gas elpiji 41.747 desa/kelurahan, minyak tanah 4.2778 desa, dan kayu bakar 35.831 desa.

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, saat ini 43 persen rumah tangga di Indonesia masih menggunakan bahan bakar padat terutama kayu bakar. Kecenderungan ke depan pun, ia meyakini, masyarakat perdesaan masih akan terus menggunakan bahan bakar bio massa tradisional seperti kayu, batubara, kotoran binatang dan lainnya.

“Padahal kayu bakar adalah jenis bahan bakar padat yang sangat tidak ramah terhadap kesehatan dan lingkungan, karena menghasilkan gas karbon 88 ppm saat memasak dan 4 ppm saat tidak memasak.” terangnya, Jakarta, Senin (10/04).

BACA JUGA: KLHK Sebut Alat Pemantau Kualitas Udara yang Dipakai Greenpeace Tidak Valid

Sedangkan untuk gas elpiji hanya menghasilkan gas karbon 3 ppm saat memasak dan 2 ppm saat tidak memasak. Selain itu, yang mengkhawatirkan adalah penggunaan minyak tanah yang ternyata masih tinggi. Padahal minyak tanah termasuk jenis bahan bakar yang tidak sehat untuk perempuan karena menghasilkan gas karbon yang tak kalah tingginya yakni 13 ppm saat memasak dan 2 ppm saat tidak memasak.

“Pemerintah harus sangat berhati-hati dalam rencananya akan mencabut subsidi untuk gas elpiji 3 kg pada awal 2018. Sebab jika subsidi dicabut, maka harga gas elpiji 3 kg akan mahal harganya dan akhirnya masyarakat miskin akan bermigrasi ke kayu bakar lagi. Ini sangat membahayakan, baik dari sisi kesehatan, lingkungan dan juga daya beli. Jika subsidi dicabut maka harga gas elpiji 3 kg bisa mencapai Rp 45.000 ribuan per tabung. Tentu hal ini sangat memberatkan dan bisa memukul daya beli,” tegasnya.

Menurut Tulus, pemerintah harus memfasilitasi masyarakat untuk penggunaan energi bersih, ramah terhadap kesehatan masyarakat dan harganya terjangkau. Baik dalam skala besar, seperti mengoptimalkan eksplorasi panas bumi, sel surya, dan sumber energi lain di masyarakat yang sangat melimpah.

BACA JUGA: Pemerintah Minta Pelaku Usaha Mendukung Target Penurunan Emisi

Masyarakat juga bisa memanfaatkan sumber-sumber lokal yang sebenarnya banyak bahan bakunya, seperti sampah rumah tangga yang bisa menghasilkan biogas. Upaya masyarakat harus difasilitasi pemerintah, termasuk pemerintah daerah dengan skema kebijakan/regulasi dan skema finansial yang jelas.

“Tanpa upaya pengembangan dan penggunaan energi bersih untuk keperluan rumah tangga maka ancaman kesehatan terhadap perempuan dan anak-anak akan makin meluas. Apalagi jika sumber energi mainstream seperti gas elpiji kian mahal harganya. Masyarakat akan berbondong-bondong menggunakan energi yang sangat korosif terhadap kesehatannya dan bahkan lingkungan,” kata Tulus.

Sebagai informasi, menurut data World Health Organization (WHO) 2012, secara global terdapat 4,3 juta jiwa meninggal prematur oleh penyakit akibat polusi udara rumah tangga yang disebabkan penggunaan bahan bakar padat. Sedangkan di Indonesia, diprediksi 45.000 kematian prematur terjadi pada wanita dan anak-anak karena penyakit akibat penggunaan bahan bakar padat tersebut.

Penulis: Danny Kosasih

Top