Jakarta (Greeners) – Komunitas masyarakat adat Rumah Panjang Iban Sadap di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat menyelenggarakan Festival Tenun Iban Sadap 2025 pada 17–20 Desember 2025. Festival budaya ini merayakan kekayaan pengetahuan menenun, pewarna alam, serta hubungan masyarakat dengan hutan adat yang menjadi sumber hidup dan identitas budaya mereka.
Festival tersebut sepenuhnya merupakan implementasi yang tertuang dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Adat (PPWA) dan disusun bersama oleh masyarakat adat. Tenun, penggunaan pewarna alam, serta regenerasi penenun muda dipandang sebagai elemen penting dalam keberlanjutan adat, ekonomi keluarga dan perlindungan ekologis hutan adat.
Dengan tema “Merawat Alam, Menenun Pengetahuan” festival ini menghadirkan serangkaian kegiatan, mulai dari pameran tenun, workshop pewarna alam, kelas menenun, seminar budaya, pertunjukan seni, hingga kunjungan ke ruang hidup masyarakat adat.
“Festival ini bukan sekadar pameran kain. Ini adalah perayaan hubungan manusia, alam dan pengetahuan leluhur yang terus hidup di dalam rumah panjang kami,” ujar Ketua Panitia Festival, Moses Bungkong dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (13/12).
Uniknya Tenun Iban Sadap
Tenun Iban Sadap memiliki keunikan tersendiri. Tenun ini terkenal bukan hanya karena kualitasnya yang rumit dan motif khasnya, tetapi juga karena filosofi yang terkandung di dalamnya. Ada motif tauk randau entimau, silup langit, karak jangkit, tersang pedara, dan motif lainnya yang bukan sekadar pola visual. Setiap garis, warna dan motif merekam jejak memori leluhur, hubungan spiritual dengan alam, serta struktur sosial masyarakat adat.
Salah satu ciri paling khas dari tenun Iban Sadap adalah penggunaan teknik tradisional ikat. Dalam hal ini benang diwarnai sebelum ditenun sehingga menghasilkan motif yang presisi dan mendalam. Seluruh proses mulai dari memintal, mengikat motif, mewarnai, hingga menenun, dilakukan secara manual. Bahkan, membutuhkan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan untuk satu lembar kain.
Warna-warna dalam tenun ini berasal dari tumbuhan hutan adat. Contohnya mengudu (Morinda citrifolia) untuk warna merah, tarum (Indigofera tinctoria) untuk warna biru, serta kayu untuk warna kuning. Selain itu, daun dan akar tertentu untuk menghasilkan variasi warna alam lainnya.
Tidak hanya mempertahankan estetika tradisi, penggunaan pewarna alam menjadi simbol siklus keberlanjutan. Dalam hal ini pewarna hanya dapat diperoleh jika hutan tetap lestari.
Tenun Penjaga Hutan dan Warisan Leluhur
Bagi masyarakat Iban Sadap, praktik menenun bukan hanya kegiatan produksi, tetapi tindakan merawat dan memperkuat hubungan dengan alam. Hutan adat menyediakan pewarna alam, bahan baku, dan inspirasi motif. Sementara, tenun menjadi media untuk meneruskan nilai spiritual, kosmologi Iban, dan kedekatan dengan alam kepada generasi muda.
Menurut perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kapuas Hulu, Herkulanus Sutomo Manna, kegiatan ini merupakan implementasi nyata dari PPWA masyarakat Sadap.
“Melalui tenun dan pewarna alam, masyarakat memperkuat identitas budaya sekaligus menjaga hutan adat sebagai sumber kehidupan,” kata Herkulanus.
Menurutnya, tenun menjadi bukti bahwa perlindungan hutan bukan hanya kewajiban ekologis. Namun, juga menjadi bagian dari keberlanjutan budaya, karena ketika hutan hilang warisan menenun pun ikut terancam.
Festival ini menjadi ruang bagi pecinta wastra, kurator, media, dan akademisi untuk memahami filosofi motif Iban. Selain itu, kegiatan ini mendukung regenerasi penenun serta memperkuat ekosistem ekonomi keluarga berbasis tradisi.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































