Orang Muda Buka Suara, Menuntut Wujudkan Keadilan Iklim

Reading time: 4 menit
Orang muda menuntut keadilan iklim. Foto: Climate Rangers
Orang muda menuntut keadilan iklim. Foto: Climate Rangers

Jakarta (Greeners) – Sekelompok orang muda di Indonesia menuntut keadilan iklim. Mereka menyampaikan deklarasi berisi permintaan mereka kepada pemerintah untuk segera bergerak mengatasi krisis iklim. Melalui deklarasi tersebut, mereka juga membawa mandat yang jelas untuk mereka suarakan dalam forum Conference of the Parties (COP) yang ke-30 di Brasil pada November mendatang, maupun dalam perumusan kebijakan nasional.

Deklarasi tersebut merupakan hasil dari kegiatan Local Conference of Children and Youth Indonesia 2025 pada bulan Agustus. Perwakilan orang muda dan anak dari seluruh Indonesia, termasuk Gispa Ferdinanda (Research Manager Sa Perempuan Papua) dan Lungli Rewardny Supit (Ketua Forum Anak Sulawesi Utara) hadir dalam deklarasi tersebut.

Lalu, apa saja permintaan yang mereka sampaikan kepada pemerintah?

1. Dengarlah Suara Orang Muda

Koordinator Climate Rangers (CR), Ginanjar Ariyasuta menilai bahwa partisipasi orang muda yang bermakna berarti mempertimbangkan suara orang muda. Hal itu mulai dari penyusunan rencana, konsultasi, hingga evaluasi.

Ia memaparkan, data survei menunjukkan bahwa partisipasi orang muda masih sebatas simbolis. Orang muda hanya menjadi penonton. “Yang berbicara di panggung masih tetap generasi sebelumnya. Orang muda tidak mendapatkan porsi apa-apa, selain materi untuk post di media sosial. Memang ada perwakilan yang menjadi duta ini atau itu, tapi suaranya tetap tidak didengarkan,” katanya.

Lungli, sosok siswa SMA berusia 16 tahun ini bercerita bahwa ia sebagai orang muda kerap diundang dalam proses pengambilan keputusan. Misalnya, dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU). Namun, Lungli merasa bahwa suara orang muda tidak pernah didengar dan direalisasikan.

“Tanda tangan kami ada pada berkas, tapi suara dan cita-cita kami tidak pernah masuk di dalam berkas itu. Harapan kami ada di ruangan itu, tapi harapan itu tidak pernah menjadi nyata,” tuturnya.

Ia menyadari bahwa sekecil apa pun suara dan tindakan yang ia bawa tidak dapat diabaikan begitu saja dan semestinya perlu dipertimbangkan. Sebab, suara yang ia bawa juga merupakan suara warga kota.

2. Ciptakan Kebijakan Berkeadilan Iklim

Desakan yang kedua dari orang muda untuk pemerintah adalah menciptakan kebijakan berkeadilan iklim. Artinya, aturan atau langkah untuk menghadapi krisis iklim harus adil bagi semua pihak. Dengan demikian, aturan bukan hanya fokus pada masalah lingkungan saja, melainkan juga memikirkan dampaknya terhadap masyarakat, terutama kelompok paling rentan.

Saat ini, pemerintah juga sudah mulai menjalankan aksi mitigasi untuk menangani krisis iklim. Namun, kata Ginanjar, banyak proses yang hanya mementingkan penurunan emisi. Padahal, itu belum cukup sebab keadilan harus ada di dalam setiap proses mitigasi tersebut.

“Ada sejumlah kelompok yang lebih terdampak oleh krisis iklim, sehingga mereka perlu terlibat dalam berbagai aksi mitigasi. Misalnya, kelompok disabilitas yang belum mempunyai infrastruktur yang akomodatif untuk evakuasi bencana. Ada pula kelompok nelayan yang terdampak oleh kenaikan permukaan air laut,” kata Ginanjar.

Sementara itu, menurut Gispa, untuk mewujudkan kebijakan berkeadilan iklim, penting untuk segera mengesahkan RUU Keadilan Iklim dan RUU Masyarakat adat. Baginya, pengesahan itu sangat berarti, contohnya masyarakat Papua, nantinya akan bisa memiliki legalitas untuk menjaga tanah, laut, dan hutannya.

Ia menekankan bahwa perjuangan keadilan iklim itu tidak bisa hanya bicara soal aksi, namun juga harus menekankan pada soal kebijakan yang memiliki daya ikat kuat.

Orang muda menuntut keadilan iklim. Foto: Climate Rangers

Orang muda menuntut keadilan iklim. Foto: Climate Rangers

3. Berpindah ke Energi Terbarukan

Berpindah ke energi terbarukan merupakan hal yang sangat penting bagi orang muda. Menyadari betul bahwa transisi dari energi fosil ke energi terbarukan membutuhkan proses, maka Ginanjar menegaskan bahwa sebaiknya pemerintah tidak menunda-nunda lagi.

“Pembangunan infrastruktur energi terbarukan harus mulai sekarang. Bukan saatnya lagi membangun PLTU baru, yang membuat sumber energi jadi lebih mahal. Jika dibandingkan dengan Vietnam yang lebih miskin daripada Indonesia, negara kita tertinggal jauh. Tingkat ketercapaian energi terbarukan di sana bisa melebihi kita. Kalau mereka bisa, seharusnya kita juga bisa,” kata Ginanjar.

Ginanjar mengatakan bahwa proses transisi energi di Indonesia saat ini memang sudah dimulai, tapi hasilnya masih sangat jauh dari harapan. Padahal, menurutnya, semakin cepat diterapkan emisi karbon akan semakin menurun, pencemaran menurun, udara pun akan semakin bersih.

Ia menegaskan bahwa dunia juga sudah menyepakati bahwa kita memerlukan energi terbarukan. Itulah mengapa saat ini pembangunan instalasi energi terbarukan menjadi sangat penting.

4. Stop Danai Proyek Palsu

Dana pemerintah selama ini masih mengalir proyek yang menggunakan energi dari batu bara. Ginanjar menyebutkan nilainya bisa mencapai miliaran dolar. Namun, ironisnya, pemerintah justru bertanya-tanya ketika diminta untuk membangun instalasi PLTS.

Menurut Gispa, PLTS justru bisa menjadi jalan keluar untuk beralih dari fosil ke energi terbarukan. Contohnya di Papua yang saat ini menggunakan sinar matahari untuk energi.

Selain itu, orang muda juga mendorong pemerintah untuk memberi bantuan berupa pembangkit listrik dan generatornya untuk masyarakat prasejahtera. Sebab, mereka sangat membutuhkan bantuan. “Ketika membayar listrik saja tidak mampu, PLTS akan sangat memudahkan mereka dari segi finansial,” kata Gispa.

Ginanjar mengharapkan sebuah solusi yang berbasis komunitas, sehingga masyarakat sekitar bisa menguasai sumber energi. Artinya, mereka memproduksi listrik, mengelola, dan mendistribusikan energi tersebut. Dengan begitu, secara energi mereka terbilang mandiri.

5. Jangan Abaikan Solusi dari Orang Muda

Lungli bercerita, masalah lingkungan paling parah yang terjadi di daerahnya adalah pembangunan perumahan dan gedung, yang menurutnya izin membangun terlalu mudah didapatkan.

Pembangunan sampai saat ini terus terjadi di pinggir pesisir pantai. Bahkan, jadi tempat wisata dan tempat hang out, tapi dampak dari pembangunan itu menyebabkan ikan-ikan semakin menjauh.

Maka dari itu, ia mendorong agar orang muda turut bersuara untuk menjami kesejahteraan rakyat, sekaligus menjaga alam. Ia juga meminta pemerintah tidak mengabaikan solusi dari orang muda.

Selain itu, edukasi tentang iklim dari inisiatif komunitas orang muda juga perlu dipertimbangkan, salah satunya soal edukasi iklim. Sebab, saat ini pendidikan soal iklim belum masuk dalam kurikulum.

Materi ini penting untuk membentuk generasi yang lebih siap dan lebih tahan iklim, agar mereka bisa terbentuk menjadi pemimpin yang mampu memikirkan solusi iklim.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top