Perempuan Menuntut Keadilan Ekologis dan Keadilan Iklim

Reading time: 2 menit
Perempuan menuntut keadilan ekologis dan keadilan iklim. Foto: Walhi
Perempuan menuntut keadilan ekologis dan keadilan iklim. Foto: Walhi

Jakarta (Greeners) – Ratusan peserta dari berbagai wilayah hadir menuntut negara menghadirkan solusi berkelanjutan demi keadilan iklim, khususnya dalam menjamin hak-hak perempuan dan kelompok rentan yang terdampak krisis iklim. Aksi ini merupakan bagian dari rangkaian Pekan Nasional Lingkungan Hidup (PNLH) 2025.

Di tengah meningkatnya bencana iklim seperti banjir, kekeringan, krisis air bersih, dan krisis pangan, perempuan dan komunitas lokal telah menjadi garda terdepan dalam membangun solusi berbasis lokal. Sayangnya, kontribusi mereka seringkali tidak mendapat pengakuan dalam kerangka kebijakan nasional maupun global.

Perempuan muda dari Maluku, Yolis Atika menyampaikan bahwa ia bersama perempuan lainnya ikut mulai bergerak dan mengorganisir diri. Mereka khawatir pengetahuan masyarakat Maluku tentang alamnya mulai menghilang. Jika tidak dijaga, pengetahuan itu dikhawatirkan hanya akan menjadi dongeng di masa depan.

“Pengetahuan komunitas sebagai bagian tak terpisahkan dari perjuangan menuju keadilan iklim, termasuk pengetahuan mereka bahwa hutan, tanah dan laut adalah sumber kehidupan mereka ketika merespons bencana dan krisis ekologis,” ungkap Yolis dalam keterangan tertulisnya, Kamis (19/9).

Perempuan Alami Dampak Bencana Iklim

Data Solidaritas Perempuan menunjukkan bahwa dari 57 desa di Indonesia sebanyak 3.624 perempuan, menjadi korban dan mengalami pemiskinan akibat dari pembangunan yang ekstraktif (2024). Hal ini memperparah dampak dari bencana iklim yang dialami oleh perempuan. Mereka semakin sulit mengakses air bersih, pangan, dan mata pencaharian, yang sebagian besar ditopang oleh kerja-kerja perempuan.

BACA JUGA: Hutan Bukan Aset Eksploitasi, Saatnya Bentuk UU Kehutanan yang Baru

Perjuangan para perempuan dalam mewujudkan kedaulatan juga mengakibatkan perempuan mengalami kekerasan struktural dan kultural. Sebab, identitas perempuan yang berlapis, seperti intimidasi dan kriminalisasi.

Dalam sejumlah komunitas seperti di Nusa Tenggara Timur dan Maluku, perempuan telah menginisiasi praktik adaptasi berbasis kearifan lokal. Mulai dari sistem tanam tahan iklim, pengelolaan air, hingga konservasi ekosistem laut dan hutan. Menurut Yolis, praktik-praktik ini tidak hanya terbukti efektif. Namun, juga berakar pada nilai solidaritas, keberlanjutan, dan hubungan harmonis dengan alam.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top