Jakarta (Greeners) – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) bersama Tim Advokasi untuk Keadilan Ekologis mengajukan permohonan uji materiil, terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, khususnya klaster lingkungan hidup. Permohonan ini mereka ajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai bentuk perlawanan terhadap pelemahan perlindungan lingkungan hidup yang dilegalkan melalui regulasi tersebut.
Pengajuan itu bertepatan pada momentum Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025. Permohonan ini secara khusus menyoal tiga belas pasal yang dinilai bermasalah karena bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusional dan nilai-nilai keadilan ekologis.
Pasal tersebut di antaranya adalah Pasal 13 huruf B serta berbagai ketentuan dalam Pasal 22, mulai dari angka 1 hingga 28. Pasal-pasal ini dinilai telah mengaburkan jaminan perlindungan lingkungan yang seharusnya menjadi bagian integral dari pembangunan berkelanjutan di Indonesia.
Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi, dalam keterangannya di Gedung MK menyampaikan bahwa pemberlakuan UU Cipta Kerja telah menyebabkan keresahan dan kerugian nyata, baik bagi masyarakat maupun bagi lingkungan hidup.
Menurutnya, keberadaan undang-undang ini mencederai semangat keadilan ekologis karena membuka ruang bagi eksploitasi lingkungan tanpa mekanisme perlindungan yang memadai.
“Berlakunya UU ini meruntuhkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang semestinya ditopang oleh upaya perlindungan lingkungan yang demokratis,” ujar Zenzi di Jakarta, Kamis (5/6).
Ia menyoroti bahwa sejumlah pasal dalam UU tersebut secara eksplisit membatasi hak-hak prosedural masyarakat. Khususnya dalam hal partisipasi publik, akses terhadap informasi, dan kontrol terhadap kebijakan yang berdampak pada lingkungan.
Salah satu masalah pokok yang menuai kritik adalah pembatasan partisipasi publik dalam proses AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan). UU Cipta Kerja membatasi partisipasi hanya kepada βmasyarakat terdampak langsungβ, yang mengesampingkan hak masyarakat luas dan organisasi lingkunganm untuk turut serta dalam proses penyusunan dokumen AMDAL. Padahal, hak untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat dan layak bagi kehidupan merupakan hak kolektif. Hal tersebut terjamin dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945.
UU Cipta Kerja Menghilangkan Pelibatan Masyarakat
Perubahan kelembagaan dari Komisi Penilai AMDAL menjadi Tim Uji Kelayakan Lingkungan Hidup juga menjadi sorotan. Perubahan ini berpotensi menghilangkan ruang pelibatan unsur masyarakat dan organisasi lingkungan, dalam proses pengambilan keputusan, yang selama ini merupakan kanal partisipatif dalam tata kelola lingkungan.
Selain itu, Walhi juga menyoroti ketentuan yang melemahkan fungsi pengawasan negara terhadap kegiatan usaha. Salah satunya adalah ketentuan dalam Pasal 22 angka 18. Pasal tersebut menyatakan bahwa pencabutan izin lingkungan tidak serta merta membatalkan izin usaha atau kegiatan.
Hal tersebut jelas bertentangan dengan semangat pengawasan preventif dalam perlindungan lingkungan hidup. Ini juga menghapus korelasi logis antara keberadaan izin lingkungan dan izin usaha.
Masalah akses informasi juga tidak luput dari perhatian. Ketentuan yang mengandalkan sistem informasi berbasis digital dinilai bias terhadap wilayah perkotaan. Bahkan, mengabaikan masyarakat di wilayah pedesaan atau terpencil yang belum memiliki infrastruktur internet memadai.
Hal tersebut berpotensi menghambat hak warga negara untuk mengetahui dan mengawasi kebijakan di bidang lingkungan. Selain itu, juga membatasi partisipasi mereka dalam pemerintahan yang demokratis.
Harapan Besar Walhi
Kuasa hukum Walhi dalam permohonan ini, yang tergabung dalam Tim Advokasi untuk Keadilan Ekologis, menyampaikan bahwa permohonan ini berdasarkan sejumlah pasal dalam UUD 1945. Hal ini menjadi batu uji terhadap konstitusionalitas UU Cipta Kerja.
Mulya Sarmono dari tim kuasa hukum menjelaskan bahwa pasal-pasal yang mereka gunakan sebagai dasar gugatan. Di antaranya Pasal 1 ayat (3) tentang negara hukum, Pasal 28H ayat (1) tentang hak atas lingkungan hidup. Kemudian, terdapat Pasal 28C ayat (1) dan (2) tentang hak mengembangkan diri dan perjuangan hak kolektif. Terakhir, Pasal 28F yang menjamin hak atas informasi.
“Pasal-pasal ini menjadi dasar konstitusional untuk menguji keabsahan pasal-pasal yang kami anggap bermasalah dalam UU Cipta Kerja. Dalam kajian kami, pasal-pasal tersebut jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam UUD 1945,” ujar Mulya.
Menutup keterangannya, Zenzi menyampaikan harapan besar kepada para hakim konstitusi agar dapat memutus perkara ini dengan mengedepankan prinsip kehati-hatian, dan keberpihakan terhadap kelestarian lingkungan hidup.
“Masa depan keadilan ekologis ada di tangan Mahkamah Konstitusi. Kami berharap putusan yang akan mereka ambil nantinya berpijak pada prinsip in dubio pro natura dalam situasi ragu, berpihaklah kepada alam,” ujar Zenzi.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia