Ekspansi Sawit Papua Berpotensi Picu Bencana Serupa Sumatra

Reading time: 2 menit
Ekspansi sawit Papua berpotensi picu bencana serupa Sumatra. Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr
Ekspansi sawit Papua berpotensi picu bencana serupa Sumatra. Foto: BPMI Setpres/Muchlis Jr

Jakarta (Greeners) – Presiden Prabowo Subianto berencana mengembangkan tanaman komoditas seperti kelapa sawit, tebu, dan singkong di Papua sebagai bagian dari upaya mencapai swasembada energi dan swasembada pangan nasional. Rencana tersebut presiden sampaikan dalam acara pengarahan kepada para Kepala Daerah se-Papua dan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua di Istana Negara, Selasa (16/12).

Dalam arahannya, Prabowo menyampaikan harapan agar Papua dapat menjadi sentra penghasil bahan baku bioenergi. Menurut dia, kelapa sawit berpotensi menghasilkan bahan bakar minyak (BBM), sementara tebu dan singkong dapat dikembangkan untuk produksi etanol.

Ia menargetkan seluruh daerah di Indonesia mampu mencapai swasembada energi dalam waktu lima tahun. Papua dipandang memiliki potensi lahan yang besar untuk mendukung ambisi tersebut.

Namun, rencana ini menuai kritik dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi). Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional Walhi, Uli Arta Siagian, menilai ekspansi perkebunan sawit dan tebu skala besar di Papua justru akan memperparah krisis ekologis yang selama ini telah terjadi. Menurutnya, masyarakat Papua sudah lama mengalami perampasan wilayah adat akibat penerbitan izin-izin konsesi oleh negara.

Walhi Papua mencatat bahwa Papua telah kehilangan tutupan hutan primer ± 688 ribu hektare hingga saat ini. Bahkan, pada 2022-2023 seluas 552 ribu hektar hutan alam Papua terdeforestasi. Papua menyumbang 70% dari total deforestasi nasional.

“Pembukaan lahan 2 juta hektare untuk pangan dan energi yang sekarang berjalan dampaknya telah rakyat rasakan di Merauke. Mulai dari perampasan wilayah adat, hilangnya sumber pangan lokal, banjir, kekerasan, bahkan kriminalisasi,” kata Uli dalam keterangan tertulisnya, Rabu (17/12).

Uli menambahkan, jika rencana ekspansi sawit, tebu, dan lainnya atas nama swasembada pangan dan energi tetap berjalan, artinya pengurus negara akan mengulang bencana ekologis Sumatra di Papua. Perubahan hutan menjadi konsesi sawit, tebu, dan aktivitas ekstraktif lainnya juga akan memperparah krisis iklim.

Pembukaan Hutan Penyebab Krisis Lingkungan

Menurut Uli, pernyataan Prabowo di tengah pascabencana Sumatra menunjukkan tidak ada kemauan politik untuk memperbaiki tata kelola hutan. Selain itu, juga tidak ada upaya perbaikan lingkungan dan sumber daya alam agar bencana ekologis tidak lagi terulang atau bahkan meluas ke wilayah-wilayah lain.

Walhi juga menilai bahwa rencana pembukaan hutan untuk menanam komoditas penghasil bioenergi bukanlah solusi baru. Sebaliknya, kebijakan tersebut merupakan bagian dari pendekatan pembangunan berbasis ekspansi lahan yang selama ini telah banyak menuai kritik.

Pembukaan hutan untuk sawit, tambang, dan proyek ekstraktif menjadi penyebab struktural krisis lingkungan yang mengurangi kemampuan lanskap menyerap curah hujan ekstrem. Kondisi tersebut memperparah banjir serta merusak sumber penghidupan masyarakat adat dan masyarakat lokal yang bergantung pada hutan.

Lebih lanjut, Walhi mengingatkan bahwa negara seharusnya tidak hanya mengejar swasembada pangan dan energi, tetapi juga memastikan terwujudnya kedaulatan energetika. Menurut Uli, kedaulatan energetika harus diletakkan dalam kerangka pemenuhan hak. Sebab, akses terhadap energi merupakan fondasi penting bagi keberlanjutan kehidupan dan martabat manusia.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top