Empat Warga Pulau Pari Gugat Holcim di Swiss, Tuntut Keadilan atas Krisis Iklim

Reading time: 3 menit
Empat warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Indonesia, menggugat perusahaan semen terbesar di dunia, Holcim, atas kerugian nyata yang mereka alami akibat krisis iklim. Foto: Walhi
Empat warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Indonesia, menggugat perusahaan semen terbesar di dunia, Holcim, atas kerugian nyata yang mereka alami akibat krisis iklim. Foto: Walhi

Jakarta (Greeners) – Empat warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Indonesia, menggugat perusahaan semen terbesar di dunia, Holcim, atas kerugian nyata yang mereka alami akibat krisis iklim. Empat warga tersebut adalah Asmania, Arif Pujianto, Edi Mulyono, dan Mustaghfirin.

Sidang pertama atas gugatan ini telah berlangsung di Pengadilan Cantonal (provinsi) Zug, Swiss. Dalam sidang perdana tersebut, Asmania dan Arif hadir langsung bersama kuasa hukum mereka, Cordelia Bähr.

Sebagai kuasa hukum penggugat, Cordelia menegaskan bahwa para penggugat mengalami kerugian nyata akibat krisis iklim. Di antaranya hasil tangkapan ikan menurun, banjir rob merusak rumah dan mencemari sumber air bersih, jumlah wisatawan yang terus berkurang, hingga penyusutan daratan pulau yang prediksinya hanya tersisa sepertiga pada 2050.

Atas dasar itu, mereka menuntut Holcim untuk mengurangi emisi sebesar 69 persen pada tahun 2040 sesuai dengan target IPCC untuk menjaga suhu bumi di bawah 1,5°C. Mereka juga menuntut agar Holcim menghentikan tambahan emisi baru. Selain itu, juga memberikan kompensasi finansial dan menanggung biaya adaptasi warga agar dapat melindungi diri serta tempat tinggal mereka.

Bagi penggugat, tuntutan ini bukan hanya tentang ganti rugi, tetapi tentang hak dasar untuk bertahan hidup di tengah krisis iklim yang semakin memburuk. Asmania, mewakili penggugat, menyampaikan langsung tuntutannya di depan hakim.

“Setiap ton CO₂ yang dikurangi sangat berharga bagi kami. Setiap pendanaan yang membantu kami beradaptasi dan memperbaiki kerusakan sangat berarti bagi masa depan kami. Oleh karena itu, kami memohon kepada hakim agar mengabulkan tuntutan kami,” kata Asmania.

Empat warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Indonesia, menggugat perusahaan semen terbesar di dunia, Holcim, atas kerugian nyata yang mereka alami akibat krisis iklim. Foto: Walhi

Empat warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Indonesia, menggugat perusahaan semen terbesar di dunia, Holcim, atas kerugian nyata yang mereka alami akibat krisis iklim. Foto: Walhi

Gugatan Holcim Berlandasan Hukum Perdata Swiss

Cordelia menjelaskan bahwa gugatan terhadap Holcim berlandaskan hukum Perdata Swiss. Hukum tersebut menegaskan siapa pun yang hak pribadinya dilanggar secara tidak sah dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk melindungi dirinya.

“Dia (penggugat) dapat meminta ganti rugi finansial, menghentikan pelanggaran yang sedang terjadi, atau menetapkan bahwa pelanggaran tersebut tidak sah jika terus menimbulkan gugatan,” kata Cordelia.

Tak hanya itu, gugatan iklim terhadap Holcim juga sejalan dengan UU Perlindungan Iklim (Climate Protection Law) Swiss. UU itu baru sah pada Juni 2023 lalu. Di dalamnya menegaskan bahwa tuntutan hukum secara perdata dalam konteks perubahan iklim dapat dilakukan. Karena gugatan ini merupakan yang pertama di Swiss, pengadilan Swiss belum pernah memutuskan kasus semacam ini.

“Namun, tugas pengadilan tidak hanya menetapkan hukum pada situasi yang telah diketahui, tetapi juga dapat menetapkan hukum baru untuk menyikapi perkembangan kehidupan masyarakat yang terus berkembang,” tambah Cordelia.

Holcim Menyangkal Tanggung Jawab

Sementara itu, kuasa hukum Holcim, Stefanie Pfisterer dan Felix Dasser, mencoba menyangkal tanggung jawab dengan menuding bahwa gugatan ini “diorkestrasi” oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), European Centre for Constitutional and Human Rights (ECCHR), dan HEKS sebagai organisasi pendamping penggugat.

Sikap tidak pantas juga Felix tunjukkan dengan melemparkan koin sebesar CHF 4 (sekitar Rp80.000) di hadapan persidangan. Hal ini untuk menunjukan bahwa klaim keuangan terbatas yang penggugat ajukan tidak relevan.

Bagi penggugat, tindakan tersebut merupakan suatu bentuk penghinaan. Hal ini karena mereka sedang memperjuangkan keberlanjutan hidup dari ancaman krisis iklim yang bahkan bukan mereka yang menyebabkannya.

Hal ini sekaligus memperlihatkan arogansi Holcim sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar di dunia yang berusaha berkilah. Bahkan, mereka meremehkan penderitaan penggugat yang terdampak langsung oleh krisis iklim. Merespon tuduhan Holcim yang menyebut gugatan ini “diorkestrasi”, Walhi memberikan bantahan langsung.

Direktur Eksekutif Walhi Jakarta, Suci Fitriah Tanjung mengatakan bahwa Holcim berusaha berkilah dari fakta bahwa lebih dari 7 miliar ton emisi CO2 yang mereka hasilkan sejak tahun 1950 sampai sekarang, telah menghancurkan kehidupan para penggugat selama hampir satu dekade.

“Tuduhan bahwa gugatan ini bagian ‘orkestrasi’ hanyalah kedok untuk menghindari tanggung jawab atas kerusakan nyata yang mereka timbulkan,” tegas Suci.

Sementara itu, majelis hakim Pengadilan Cantonal Zug akan menyampaikan putusan resmi terhadap kasus ini dalam beberapa pekan ke depan. Sidang ini menjadi salah satu tonggak penting dalam perjuangan hukum transnasional.

Gugatan ini juga menjadi pertama kalinya oleh empat warga dari sebuah pulau kecil di Indonesia. Mereka berdiri di hadapan pengadilan di Eropa, menuntut pertanggungjawaban salah satu korporasi besar dunia atas kontribusinya terhadap krisis iklim.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top