Pengadilan Swiss Kabulkan Gugatan Iklim Nelayan Pulau Pari terhadap Holcim

Reading time: 3 menit
Pengadilan Swiss kabulkan gugatan iklim nelayan Pulau Pari terhadap Holcim. Foto: Istimewa
Pengadilan Swiss kabulkan gugatan iklim nelayan Pulau Pari terhadap Holcim. Foto: Istimewa

Jakarta (Greeners) – Pengadilan Kanton Zug, Swiss, untuk pertama kalinya menyatakan menerima gugatan iklim terhadap perusahaan besar. Dalam putusan tersebut, pengadilan mengabulkan seluruh permohonan dalam gugatan. Sebanyak empat nelayan Indonesia mengajukan gugatan terhadap perusahaan semen multinasional asal Swiss, Holcim.

Mereka berasal dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Keempat nelayan tersebut yakni Asmania, Arif, Edi, dan Bobby, pada akhir Januari 2023. Sidang pertama berlangsung sejak awal September 2024.

Para nelayan menuntut kompensasi dari Holcim atas dampak perubahan iklim yang mereka alami, dukungan pendanaan untuk perlindungan banjir, serta penurunan emisi CO2 secara cepat. Dalam beberapa tahun terakhir, terjadi banjir rob di Pulau Pari imbas perubahan iklim. Holcim menjadi salah satu perusahaan yang telah berkontribusi signifikan terhadap krisis iklim global melalui emisi karbon dalam jumlah besar dan terus-menerus.

Dalam putusannya kemarin, Pengadilan Kanton Zug menolak seluruh keberatan prosedural Holcim dan menyatakan bahwa gugatan tersebut dapat pengadilan terima secara penuh. Pengadilan menilai para penggugat berhak memperoleh perlindungan hukum karena perubahan iklim berdampak langsung terhadap kehidupan dan mata pencaharian mereka.

Putusan tersebut membuka jalan untuk pemeriksaan ke pokok perkara. Pengumuman keputusan pada 22 Desember 2025 bahkan menjadi keberhasilan sementara bagi para penggugat dan upaya penegakan keadilan iklim.

“Kami sangat bersyukur. Keputusan ini memberi kami kekuatan untuk melanjutkan perjuangan. Ini kabar baik bagi kami dan keluarga kami,” kata Asmania, salah satu penggugat dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu.

Perkara “Iklim” Sangat Mendesak

Sementara itu, Pengadilan Kanton Zug, Swiss juga menolak argumen Holcim yang menyatakan bahwa isu perlindungan iklim seharusnya diselesaikan melalui proses politik, bukan melalui pengadilan. Menurut majelis hakim, “putusan pengadilan tidak menggantikan kebijakan iklim pemerintah, tetapi melengkapinya.”

Perkara tersebut dinilai bukan menyangkut kebijakan iklim Swiss secara umum, melainkan tuntutan konkret masyarakat Pulau Pari. Pengadilan menyatakan kepentingan para penggugat agar Holcim menurunkan emisinya bersifat “mendesak dan relevan”. Dengan demikian, keempat penggugat berhak untuk membawa perkara ini ke pengadilan.

Pengadilan juga menolak dalih bahwa Pulau Pari akan tenggelam apa pun yang terjadi. Majelis hakim menegaskan bahwa “setiap upaya pengurangan emisi tetap penting dalam menghadapi perubahan iklim.”

Argumen bahwa pengurangan emisi Holcim dapat digantikan oleh peningkatan emisi dari perusahaan lain juga tidak diterima. Pengadilan pun menegaskan bahwa “Perilaku yang merugikan tidak bisa dibenarkan hanya karena banyak pihak lain melakukan hal yang sama.

Preseden Penting bagi Korban Krisis Iklim

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai putusan ini membawa para penggugat lebih dekat pada tujuan mereka. Penggugat dapat memperoleh perlindungan bagi masa depan pulau tempat tinggal dan keberlanjutan hidup mereka.

Selain itu, keputusan ini juga menegaskan pentingnya mendorong pembagian beban perubahan iklim yang adil. Dalam hal ini, pihak-pihak yang bertanggung jawab atas krisis iklim harus menanggung biayanya, bukan memaksa masyarakat yang terdampak menerima dampaknya.

Menurut Walhi, putusan dismisal ini menjadi preseden penting bagi korban krisis iklim dan gerakan iklim global. Hal tersebut kian kuat dengan Pengadilan Kanton Zug Swiss yang menegaskan bahwa setiap orang memiliki perlindungan hukum karena krisis iklim.

Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Boy Jerry Even Sembiring mengatakan bahwa secara garis besar putusan ini mengukuhkan dan menegaskan peran pengadilan dalam dampak krisis iklim. Menurutnya, putusan ini dalam konteks global menjadi preseden untuk menarik dan menuntut pertanggungajawaban korporasi besar yang berkontribusi terhadap krisis iklim.

“Putusan baik ini datang di tengah situasi buruk bencana ekologis dan iklim yang menimpa Sumatra. Kita punya preseden baru untuk membawa korporasi-korporasi besar yang menjadi emitor besar, menuntut pertanggungjawaban mereka atas krisis iklim yang menyebabkan bencana iklim yang terjadi,” tambahnya.

Menguatkan Arah Perkembangan Hukum

Meski menjadi putusan pertama di Swiss yang menerima gugatan iklim terhadap perusahaan besar, keputusan Pengadilan Kanton Zug ini sejalan dengan perkembangan hukum internasional. Pengadilan di berbagai negara semakin mengakui perubahan iklim sebagai isu hukum. Prusahaan besar penghasil emisi gas rumah kaca juga mulai dimintai pertanggungjawaban.

Putusan ini belum bersifat final dan masih dapat diajukan banding ke Pengadilan Kanton Zug, Swiss. Namun, keputusan ini memperkuat tren global dan mempersempit ruang bagi perusahaan besar untuk menghindari tanggung jawab iklim melalui celah prosedural.

Kasus ini mendapat dukungan dari Walhi, Swiss Church Aid (HEKS/EPER), European Center for Constitutional and Human Rights (ECCHR), yang mendorong prinsip bahwa pihak-pihak penyebab krisis iklim juga harus menanggung dampaknya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top