LSM Ragukan Target Nol Pembangunan TPA di 2030

Reading time: 2 menit
Agar TPA tak penuh perlu pengurangan sampah dari hulu. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Pemerintah menargetkan tidak ada lagi pembangunan tempat pemrosesan akhir sampah (TPA) di tahun 2030. Nexus3 Foundation menilai target itu semu jika tidak ada upaya transisi pengurangan sampah dari hulu. 

Co- founder & Senior Advisor, Nexus3 Foundation Yuyun Ismawati mengatakan, negara-negara lain bahkan negara maju masih membutuhkan TPA. Namun, jika memang menargetkan nol pembangunan TPA maka harus merencanakan dengan baik dan matang transisinya.

“Penutupannya harus benar. Jangan sampai target ini mimpi belaka. Pemerintah pusat harus memastikan pemda menerjemahkannya seperti apa. Bukan berarti tiba-tiba kita tutup lalu tidak ada solusi transisinya seperti apa,” katanya di sela-sela acara Towards Zero Waste to Zero Emission, di Jakarta, Senin (6/3).

Penutupan TPA Suwung

Berkaca dari pengalaman, di Bali ada beberapa TPA yang ditutup, termasuk TPA Suwung. Hal ini menimbulkan masalah baru. Sampah yang tak boleh dibuang ke TPA Suwung terpaksa menumpuk di TPS Kelurahan Renon. TPS ini kini berubah menjadi besar dan menimbulkan bau yang tak sedap di kawasan pemukiman warga. 

Menurut Yuyun, salah satu hal paling krusial untuk menekan laju jumlah sampah dari hulu, yakni dengan menekan pembatasan kemasan plastik oleh fast moving consumer goods (FMCG) dari produsen.

Apalagi pemerintah, telah membuat regulasi Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen melalui Permen LHK 75 Tahun 2019. Di dalamnya memuat target, pengurangan sampah oleh produsen sebesar 30 % pada tahun 2030.

“Pemerintah harus lebih galak lagi kepada produsen agar mereka mengurangi 30 % sampah pada tahun 2030. Seperti melalui redesain dan daur ulang sehingga aman tak mencemari lingkungan,” imbuhnya

Selain itu, pemerintah juga harus memastikan agar produsen tak memakai kemasan yang berbahan kimia beracun melalui kebijakan regulasi yang tegas. “Saat ini sayangnya belum ada peraturan untuk produk plastik adiktif,” ucap Yuyun.

Yuyun Ismawati (tengah) bersama sejumlah narasumber dalam sebuah acara Towards Zero Waste to Zero Emission. Foto: Greeners/Ramadani Wahyu

Sulit Kurangi Plastik FMCG 

Berdasarkan kajian Greenpeace tahun 2021 dalam Perspektif Publik terhadap Kontribusi Korporasi dalam Krisis Pencemaran Plastik,  plastik kemasan FMCG merupakan bahan yang paling masif dan paling sulit pengurangannya.

Hanya sekitar 26 % masyarakat yang mengurangi produk kemasan makanan dan minuman FMCG. Kemudian hanya 29 % masyarakat yang mengurangi produk kemasan personal care FMCG.

“Industri FMCG menjadi porsi terbesar dalam market share produksi plastik global, yakni 161 dari 448 juta ton,” kata Juru Kampanye Urban Greenpeace, Atta Rasyidi.

Emisi dari PLTSa Lebih Tinggi 

Demi mengurangi emisi dari sektor sampah menuju nol pembangunan TPA di tahun 2030, pemerintah menerapkan pemanfaatan teknologi pembakar sampah, seperti pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa).

Climate and Clean Energy Campaign Officer GAIA Asia Pasific Yobel Novian Putra menyebut, solusi tersebut justru malah akan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Menurutnya, emisi gas dari PLTSa justru lebih tinggi daripada dari PLTU batu bara.

“Emisi dari PLTSa sekilas terlihat lebih kecil karena yang kita hitung hanya dari fosilnya. Padahal, jika ditambah dari hulu pembuatan plastik, sampah organik seperti sampah makanan di dalamnya maka insenerator lebih polutif daripada sumber energi lainnya,” paparnya.

Penulis: Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top