Jakarta (Greeners) – Sejumlah organisasi masyarakat sipil menyayangkan hasil Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-30 (COP30) yang berlangsung di Belém, Brasil. Hasil dari perundingan tersebut masih belum menjawab rencana konkret yang memadai untuk mengatasi krisis iklim.
Direktur Eksekutif Madani Berkelanjutan Nadia Hadad menilai target pengurangan emisi masih terlalu lemah. Bahkan, mekanisme pendanaan belum jelas, dan komitmen sejumlah negara besar pun tidak menunjukkan kemajuan berarti. Meskipun ada klaim pendanaan adaptasi akan meningkat hingga tiga kali lipat, detail implementasinya belum transparan.
“Belum ada rencana konkret siapa yang akan membayar juga belum jelas, sehingga seharusnya ada roadmap sesudah itu,” kata Nadia di Jakarta, Selasa (25/11).
Selain itu, ia menilai delegasi Indonesia di COP30 tampil pasif. Indonesia tidak menunjukkan peran diplomasi yang kuat, serta gagal mendorong komitmen ambisius untuk keluar dari energi fosil dan menghentikan deforestasi. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan salah satu hutan hujan tropis terbesar di Indonesia dan memiliki prosisi strategis anggota G20.
BACA JUGA: MADANI: Hindari Perdagangan Karbon Jadi Praktik Greenwashing
Country Director Greenpeace untuk Indonesia, Leonard Simanjuntak juga menyinggung COP30 yang tidak menghasilkan komitmen konkret untuk mencapai ambisi menekan pemanasan global tak lebih dari 1,5 derajat Celcius dibandingkan periode pra-industri. Laporan Greenpeace terakhir justru menunjukan ada peningkatan emisi gas rumah kaca. Hal tersebut menjadi sumber pemanasan global di beberapa negara, termasuk di Indonesia akibat deforestasi.
“COP30 tak membuahkan hasil yang diharapkan,” katanya.
Menurut Leonard, COP30 tidak menghasilkan peta jalan yang nyata untuk mengakhiri penggunaan energi fosil (transitioning away from fossil fuel roadmap) dan menghentikan deforestasi (halting and reverse deforestation roadmap), serta peningkatan pendanaan untuk aksi iklim. Padahal, COP30 terselenggara di Brasil, negara dengan hutan hujan tropis terbesar di dunia.
“Hasil tersebut lebih buruk dari COP28 yang berlangsung di Dubai, negara penghasil minyak, paling tidak ada kalimat transition in away untuk mengakhiri penggunaan energi fosil,” tambah Leonard.
COP30 Akomodasi Hak Kolektif Masyarakat Adat
Berlangsungnya COP30 selama 12 hari juga telah menghasilkan keputusan penting yang mengakomodasi hak kolektif masyarakat adat. Keputusan itu tercantum dalam dokumen Program Transisi yang Adil (Just Transition Work Programme).
Dokumen resmi tersebut menegaskan pentingnya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat. Keputusan tersebut termasuk penerapan Free Prior and Informed Consent (FPIC), hak atas penentuan nasib sendiri dan perlindungan terhadap masyarakat adat yang hidup mengisolasi diri secara sukarela atau sadar (voluntary isolation).
BACA JUGA: Kualitas Udara Jakarta, Sektor Energi Penyumbang Utama Emisi GRK
Deputi I Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Urusan Organisasi, Eustobio Rero Renggi mengatakan keputusan ini menjadi momentum penting bagi Indonesia. Apalagi, pemerintah telah berkomitmen pada COP30 untuk mengakui 1,4 juta hektare hutan adat. Namun, angka tersebut merupakan langkah awal yang perlu diperluas dan diperkuat. Sebab, 33,6 juta hektare peta wilayah adat telah diserahkan kepada pemerintah. Terutama ada komitmen tenure secara luas di internasional seluas 160 juta hektare.
“Kalau Indonesia mau memimpin, percepat pemenuhan hak-hak masyarakat adat. Terpenting adalah sahkan RUU Masyarakat Adat, sehingga apa yang pemerintah sampaikan di COP30 tidak sekedar janji politik di panggung global. Apalagi, pemerintah terlibat dalam kesepakatan global untuk memastikan komitmen tenurial seluas 160 juta hektare,” tuturnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































