Jakarta (Greeners) – Executive Secretary United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Simon Stiell menilai Indonesia memiliki peluang besar dalam kepemimpinan iklim global setelah Amerika Serikat kembali menarik diri dari Perjanjian Paris. Namun, ia menekankan bahwa kepemimpinan tersebut harus terbukti melalui aksi konkret, bukan sekadar pernyataan politik.
“Ketika satu negara besar mundur, ruang untuk memimpin terbuka bagi negara lain. Indonesia punya posisi strategis dan potensi besar untuk menunjukkannya,” ujar Simon dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu (26/7).
Simon menyoroti pentingnya dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) yang akan Indonesia serahkan ke Konferensi Perubahan Iklim COP30 di Brazil pada September mendatang. Ia mendorong agar NDC Indonesia tidak hanya ambisius secara angka, tetapi juga perlu komprehensif dan implementatif.
“Semakin rinci dan ambisius NDC, semakin kuat sinyalnya ke komunitas keuangan global bahwa Indonesia siap menjadi pusat investasi hijau,” katanya.
Menurutnya, rencana iklim yang ambisius tidak hanya memberi sinyal kuat kepada komunitas keuangan, baik domestik maupun internasional. Namun, juga membuka peluang investasi hijau di sektor energi, industri, hingga teknologi ramah lingkungan.
Simon juga menyampaikan bahwa komitmen dari COP29 sebesar $300 miliar per tahun hingga 2035 adalah lanjutan dari target $100 miliar yang telah tercapai pada 2022. Saat ini disusun roadmap menuju $1,3 triliun per tahun, yang akan diluncurkan oleh presidensi Azerbaijan dan Brazil.
Semua negara diminta untuk menyerahkan NDC yang sejalan dengan target 1.5°C, mencakup seluruh sektor ekonomi dan semua gas rumah kaca. Target globalnya adalah pengurangan emisi sebesar 60% pada 2035. Indonesia memiliki kerentanan tinggi terhadap iklim dan ketergantungan besar pada bahan bakar fosil, tapi juga ambisi besar, termasuk komitmen menuju 100% energi terbarukan.
Kepemimpinan Iklim
Sementara itu, saat ini juga banyak gangguan global yang mengalihkan perhatian dan sumber daya dari kebijakan iklim. Pendiri Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Dino Patti Djalal mengatakan bahwa penarikan Amerika Serikat dari Perjanjian Paris menjadi salah satu pukulan besar.
“Dengan keluarnya AS, bisakah negara-negara kekuatan menengah seperti Indonesia naik ke panggung? Hanya ada dua cara untuk menunjukkan itu. Pertama, secara domestik menunjukkan transisi energi yang signifikan,” ungkapnya.
Dino juga menyambut baik pernyataan Presiden Prabowo Subianto, yang menyampaikan ambisi untuk mencapai 100 persen energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan.
“Ini luar biasa karena belum pernah terjadi sebelumnya. Brazil sudah mencapai 90% listrik dari energi terbarukan. Lalu, bisakah Indonesia memimpin di panggung global menuju COP di Brazil? Saya percaya bisa, karena kepemimpinan domestik dan aktivisme internasional untuk perubahan iklim berjalan beriringan,” tambahya.
Meski begitu, Dino menegaskan bahwa tantangan utama bukan hanya soal menyusun target, melainkan memastikan target tersebut benar-benar tercapai. Ia membedakan dua jenis NDC, yaitu yang disusun dengan sungguh-sungguh dan diimplementasikan, serta yang hanya tertulis di atas kertas tanpa strategi yang jelas.
Untuk itu, ia mendorong agar ambisi iklim Indonesia segera dijadikan undang-undang. Hal ini penting agar Indonesia memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan tidak bergantung pada dinamika politik.
Langkah ini, menurutnya, sudah berlaku di beberapa negara seperti Inggris dan negara-negara Uni Eropa. Meski Amerika Serikat keluar dari Perjanjian Paris, Dino menegaskan bahwa masih ada 194 negara lain yang tetap berkomitmen menjalankan agenda iklim global.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































