Hari Listrik Nasional, Warga Banten Gaungkan Penolakan PLTU Batu Bara

Reading time: 3 menit
Hari Listrik Nasional, Warga Banten Gaungkan Penolakan PLTU Batu Bara
Hari Listrik Nasional, warga Banten melakukan aksi damai penolakan PLTU batu bara. Foto: Istimewa.

Jakarta (Greeners) – Banten merupakan provinsi dengan unit Pusat Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara terbanyak. Studi Trend Asia menemukan saat ini terdapat sekitar 19 unit PLTU batu bara yang mengepung Banten. Jumlah tersebut akan bertambah seiring ancangan pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 di Cilegon.

Untuk itu, warga Banten bersama jejaring masyarakat sipil menggelar aksi damai di kantor Gubernur Provinsi Banten memperingati Hari Listrik Nasional ke-75, Selasa (27/10/2020). Mereka mengekspos kondisi Banten yang sudah dalam keadaan darurat polusi akibat puluhan PLTU batu bara yang menghasilkan polutan berbahaya. Pengunjuk rasa mendesak Pemerintah Daerah (Pemda) Banten menghentikan proyek PLTU. Alih-alih energi kotor, pengunjuk rasa mendesak Banten beralih ke energi baru terbarukan.

“Sudah berapa banyak PLTU yang dibangun di Banten? Mulai dari yang dimiliki swasta atau yang dimiliki oleh negara. Ketika kecenderungan pembangunan global mulai meninggalkan batu bara, Banten justru seperti tidak puas dengan PLTU batu bara yang sudah begitu banyak. Hal ini harus dicegah, jangan sampai Banten akan dikenal sebagai daerah yang tercemar dan mencemari wilayah di sekitarnya,” ujar Koordinator Pena Masyarakat, Madhaer Efendi melalui siaran pers (27/10).

Peneliti Kritik Nihilnya Inovasi Energi Terbarukan Pemerintah Banten

Dalam siaran pers yang sama, Peneliti dan Pengampanye Trend Asia, Andri Prasetyo mengontraskan pembangunan PLTU baru dengan kondisi PLN Jawa dan Bali yang saat ini sedang over supply, kelebihan kapasitas. Tidak tanggung-tanggung, kelebihan kapasitas di kawasan yang akan menjadi konsumen dari PLTU baru ini mencapai 40 persen. Andri mereken, adanya kelebihan kapasitas ini seharusnya menjadi kesempatan bagi pemerintah daerah untuk menggenjot potensi energi bersih seperti angin dan matahari yang melimpah.

“Sudah saatnya Banten mandiri energi dan lepas dari ketergantungan batu bara. Terlebih, saat ini secara biaya pembangunan pembangkit listrik bertenaga angin dan khususnya matahari telah mencapai nilai keekonomian yang lebih terjangkau dibanding batu bara yang selama ini diklaim sebagai sumber energi termurah,” hemat Andri.

Hanya saja, tidak banyak yang bisa diharapkan dari pemerintah daerah ini. Andri menyebut Banten sebagai perwujudan benang kusut lanskap ketenagalistrikan nasional, terutama terkait ketergantungan akut terhadap batu bara. Tidak heran bila penerapan energi bersih terbarukan di provinsi ini jauh dari kata optimal.

Andri menambahkan orientasi pengembangan energi yang hanya fokus pada batu bara mengantar Banten di posisi buntut dalam penerapan energi terbarukan. Andri menyebut utilisasi potensi energi bersih daerah ini bahkan tidak mencapai 1 persen dari total potensi energi bersih terbarukan yang mencapai 5000 MW.

Baca juga: Pandemi, Temuan Kasus TB Tanah Air Merosot Tajam

Berbagai Lembaga Internasional Soroti Pembangunan PLTU Batu Bara Banten

Secara struktural, lanjut Andri, Banten didesain untuk teradiksi oleh sumber energi kotor. Dia mereken, Pemda harus membenahi kondisi ini. Pemerintah Banten seyogyanya  segera mengambil langkah nyata untuk melindungi warga dari bahaya polusi PLTU batu bara. Salah satu langkah nyata yang bisa pemerintah daerah upayakan yakni dengan mendesak penghentian operasi PLTU tua dan menarik rem pembangunan PLTU baru, yakni PLTU Jawa 9 dan 10.

Menggema Andri, Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jakarta, Tubagus Soleh Ahmadi juga menunjuk lemahnya peran Pemda. Menurutnya, loyonya peran Pemda menjadi biang kerok kerangka pengembangan ketenagalistrikan nasional yang jalan di tempat.

“Pemerintah Banten terus-menerus memberikan kemudahan izin pembangunan PLTU di wilayahnya. Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah daerah abai terhadap keberlanjutan lingkungan dan kesehatan warganya,” ucap Tubagus.

Beberapa catatan merah pembangunan PLTU Jawa 9 dan 10 diberikan juga oleh lembaga pengawas finansial berkelanjutan Recourse. Mereka memprediksi kedua PLTU baru di Banten ini akan menyumbang 10 juta ton karbon dioksida per tahun. Sebagai perbandingan, Recourse menyebut jumlah itu setara dengan emisi karbon Thailand atau Spanyol. Selain itu, catatan merah juga diberikan Greenpeace lewat laporannya yang mengemukakan proyek PLTU bernilai US$ 3,5 miliar tersebut berpotensi menyebabkan lebih dari empat ribu kematian dini dalam jangka tiga puluh tahun.

Penulis: Muhammad Ma’rup

Editor: Ixora Devi

Top