Ribuan Pelobi Industri Fosil di COP30: Khawatir Kebijakan Iklim Melemah

Reading time: 2 menit
Ribuan pelobi industri fosil di COP30 khawatirkan kebijakan iklim melemah. Foto: Sergio Moraes/COP30
Ribuan pelobi industri fosil di COP30 khawatirkan kebijakan iklim melemah. Foto: Sergio Moraes/COP30

Jakarta (Greeners) – Analisis terbaru Koalisi Kick Big Polluters Out (KBPO) mengungkapkan bahwa lebih dari 1.600 pelobi industri bahan bakar fosil, termasuk dari Indonesia, mendapat akses untuk mengikuti perundingan iklim COP30 di Belem, Brasil. Banyaknya keterlibatan industri fosil ini dikhawatirkan dapat melemahkan upaya mendorong kebijakan iklim yang ambisius.

Sebanyak 46 pelobi bahan bakar fosil turut mengintervensi negosiasi Pasal 6.4 terkait pasar karbon. Mereka mendorong pelonggaran aturan pasar karbon, termasuk standar integritas lingkungan yang lebih lemah serta perlindungan yang minim terhadap proyek offset berbasis alam yang berisiko tinggi. Upaya ini dinilai bertentangan dengan sains dan target pembatasan kenaikan suhu 1,5°C.

Manager Kampanye Hutan dan Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Uli Arta Siagian mengungkapkan bahwa fakta ini semakin membuktikan bahwa negara telah “diambil alih” oleh korporasi.

Hal itu terlihat ketika negara memberikan akses istimewa kepada pelaku industri fosil untuk memengaruhi kebijakan iklim. Bahkan, melonggarkan aturan pasar karbon. Hal tersebut memungkinkan para pebisnis fosil dapat dengan mudah meng-offset emisi, sekaligus mendapatkan keuntungan dari bisnis karbon.

“Praktik corporate capture Indonesia semakin membuktikan bahwa tidak ada agenda keselamatan rakyat dan lingkungan dalam misi delegasi Indonesia,” kata Uli dalam keterangan tertulisnya, Minggu (16/11).

Sebagai bentuk protes, Walhi menyampaikan aksi “Kembali ke Rakyat-Kembali ke Akar” pada COP30 di tahun ini. Aksi tersebut mereka suarakan agar pertemuan iklim dunia dapat berjalan di jalur sebenarnya, yaitu keadilan iklim.

Lewat aksi ini, Uli menegaskan agar seluruh pengurus negara di dunia kembali pada rakyat. Mereka harus merekognisi hak, peran, pengetahuan, dan praktik tradisional rakyat dalam menyusun aksi adaptasi dan mitigasi iklim.

COP30 Harus Jadi Titik Balik

Sementara itu, desakan ini juga Walhi sampaikan bersama jaringan dan komunitas di delapan provinsi di Indonesia. Di antaranya Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Riau, Nusa Tenggara Timur (NTT), Jambi, dan Sulawesi Tengah.

Direktur Eksekutif Daerah Walhi NTT, Yuven Stefanus Nonga, menyatakan bahwa pulau-pulau kecil merupakan wilayah paling rentan menghadapi krisis iklim. Kelompok yang tinggal di dalamnya, perempuan, anak-anak, masyarakat adat, nelayan, dan petani, menjadi entitas yang paling terdampak ketika krisis iklim terjadi.

Untuk itu, ia mendesak pemerintah menjadikan kerentanan wilayah dan situasi masyarakat di tapak di seluruh daerah menjadi basis utama dalam menyusun kebijakan iklim dengan agenda aksi dan adaptasinya.

“Kami percaya jawaban itu bisa ditemukan jika negara kembali ke rakyat,” ujar Yuven.

Walhi Jambi juga ikut bersuara. Direktur Eksekutif Daerah Walhi Jambi, Oscar Anugrah, menilai komitmen iklim Indonesia masih jauh dari upaya memutus ketergantungannya pada energi kotor.

“Kebijakan yang keluar justru membuka jalan bagi ekspansi industri ekstraktif yang merugikan rakyat dan lingkungan di Jambi. Transisi energi berkeadilan hanya dapat terwujud apabila negara kembali ke rakyat dan mendengarkan suara rakyat, khususnya perempuan,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa COP30 harus menjadi titik balik untuk memastikan dan mengawal terwujudnya keadilan ekologis dan keadilan gender. Ia juga menekankan pentingnya masa depan ruang hidup rakyat Jambi.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top