Riset: 20 PLTU Berbahaya Sebabkan Risiko Kesehatan dan Ekonomi

Reading time: 2 menit
Riset ungkap 20 PLTU berbahaya sebabkan risiko besar kesehatan dan ekonomi. Foto: Bukbij Candra Ismeth Bey_Trend Asia
Riset ungkap 20 PLTU berbahaya sebabkan risiko besar kesehatan dan ekonomi. Foto: Bukbij Candra Ismeth Bey_Trend Asia

Jakarta (Greeners) – Operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Indonesia menimbulkan risiko besar terhadap perekonomian dan kesehatan masyarakat. Laporan terbaru mengungkapkan bahwa akumulasi operasional 20 PLTU paling berbahaya di Indonesia hingga tahun 2050 dapat menyebabkan 156.000 kematian dini. Selain itu, juga menimbulkan kerugian ekonomi sebesar USD 109 miliar atau sekitar Rp1,813 kuadriliun.

Riset tersebut terungkap dalam laporan terbaru CREA, Celios, dan Trend Asia berjudul “Toxic Twenty: Daftar Hitam 20 PLTU Paling Berbahaya di Indonesia”. Riset ini menyusun daftar pembangkit listrik batu bara di Indonesia dengan mempertimbangkan emisi yang dihasilkan serta dampaknya terhadap kesehatan dan lingkungan. Selain itu, riset ini juga menganalisis kerugian ekonomi, baik bagi masyarakat maupun negara.

Analisis dispersi cemaran polusi terhadap kesehatan masyarakat akibat pembakaran energi fosil di PLTU meliputi beberapa hal. Di antaranya kelahiran prematur, kelahiran dengan berat badan kurang, kunjungan ruang gawat darurat, asma pada anak, stroke, tahun-tahun yang dijalani dengan disabilitas, ketidakhadiran bekerja, hingga kematian dini. Perhitungan dampak ini mulai dari kumulatif historis (2000-2025) dan proyeksi kumulatif di masa depan (2026-2050).

Analis dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Katherine Hasan menunjukkan adanya dampak nyata dari PLTU. Salah satunya adalah banyaknya berita kenaikan angka akibat ISPA di Jakarta pada tahun 2025. Salah satu penyebab kenaikan penyakit ini adalah cemaran polutan lintas batas dari PLTU batu bara di sekitar Jakarta.

“Kebergantungan Indonesia pada pembangkit listrik berbasis batu bara tidak hanya membawa risiko kesehatan bagi seluruh masyarakat, tapi juga membebani perekonomian dalam jangka panjang serta melemahkan komitmen transisi energi dan target iklim nasional,” ujar Katherine Hasan di Jakarta, Selasa (4/11).

Selain itu, riset terhadap 20 PLTU di jaringan Sumatra, Jawa dan Bali ini juga mengungkapkan kerugian ekonomi per tahun di masa mendatang mencapai Rp52,4 triliun. Bahkan, berkurangnya pendapatan masyarakat secara agregat sebesar Rp48,4 triliun.

Besarnya Dampak PLTU terhadap Tenaga Kerja

Terkait pemensiunan PLTU batu bara juga sudah pemerintah rencanakan. Hal itu sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 10 Tahun 2025 tentang Peta Jalan Energi Sektor Ketenagalistrikan.

Namun, kebijakan ini tampak belum cukup kuat untuk menghindarkan Indonesia dari risiko dampak buruk pembakaran batu bara. Sebab, aturan tersebut masih bersifat opsional. Bahkan, bergantung pada dukungan pendanaan, bukan merupakan mandat tegas untuk penyelamatan iklim dan masyarakat.

Peneliti Celios, Atina Rizqiana menilai keberadaan PLTU justru mengakibatkan 1,45 juta tenaga kerja kehilangan pekerjaan. Mereka rata-rata berasal dari sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan akibat pencemaran lingkungan.

“Hal ini menjadi ironi. Sebab, pemerintahan Prabowo-Gibran berjanji membuka 19 jita lapangan kerja, tapi nyatanya pemerintah justru menghilangkan sumber ekonomi masyarakat,” kata Atina.

Selain itu, penelitian ini juga mengungkap bahwa pemensiunan dini PLTU justru mampu menghemat potensi kerugian negara. Melalui riset ini, para investor juga harus melihat bahwa pembangunan PLTU bukan hanya bisnis yang merugikan secara finansial. Namun, juga menghancurkan lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Menurut Pengampanye Energi Trend Asia, Novita Indri Pratiwi, negara-negara pemberi modal dan pemerintah harus berhenti menawarkan solusi palsu untuk menunda pemensiunan PLTU. Mereka harus benar-benar melakukan transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top