Indonesia Punya Modal Hukum dan Ekonomi untuk Pensiunkan PLTU

Reading time: 3 menit
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai bahwa Indonesia sudah memiliki modal hukum dan ekonomi untuk segera pensiunkan PLTU. Foto: Freepik
Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai bahwa Indonesia sudah memiliki modal hukum dan ekonomi untuk segera pensiunkan PLTU. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Sejumlah organisasi masyarakat sipil menilai bahwa Indonesia memiliki modal yang kuat, baik dari sisi hukum maupun ekonomi, untuk melanjutkan transisi energi, khususnya pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Beberapa regulasi telah menjamin pelaksanaan pensiun dini tersebut dan memitigasi risiko keuangan yang mungkin timbul. Namun, keberlanjutan proses ini sangat bergantung pada kemauan politik pemerintah untuk mewujudkannya.

Peneliti Hukum Centre of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhamad Saleh mencatat setidaknya ada empat kebijakan yang bisa jadi modal kuat transisi energi dan penutupan PLTU. Pertama, Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 secara jelas telah mengatur jenis dan kriteria pemberhentian PLTU. Bahkan, juga mendorong pemerintah mewujudkan berbagai skema pembiayaan untuk proses penutupan.

BACA JUGA: Celios: Perdagangan Karbon, Solusi Keliru untuk Atasi Krisis Iklim

Kedua, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 5 Tahun 2025 mengatur adanya platform transisi energi sebagai alat fiskal. Hal itu untuk mendukung percepatan penutupan PLTU dan pengakhiran Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL). Artinya, ada penjaminan dari Kementerian Keuangan ketika ada risiko kegagalan bisnis PLN dan alokasi anggaran dari penutupan PLTU.

Dua kebijakan lainnya yakni Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Meski tak secara eksplisit menyebut PLTU mana yang harus tutup, RUKN mempertegas amanat Kebijakan Energi Nasional (KEN) untuk mengakhiri operasi PLTU. Selain itu, juga mendorong pengembangan energi terbarukan. RUPTL kemudian juga secara tegas mendorong diversifikasi jenis pembangkit listrik.

Menurut Saleh, keempat regulasi ini cukup untuk memberi dasar bagi pemerintah melakukan transisi energi. Hanya ada satu amanat Perpres No. 112 Tahun 2022 yang belum Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) jalankan, yaitu peta jalan pensiun dini PLTU yang mendetailkan kriteria serta skema pembiayaannya.

“Ini sangat krusial, makanya kita seharusnya mendorong Kementerian ESDM untuk segera mengeluarkan peta jalan. Saat ini, hanya itu (peta jalan) hambatannya,” ujar Saleh lewat keterangan tertulisnya.

Banyak Opsi

Sementara itu, terkait pembiayaan transisi energi, Direktur Eksekutif SUSTAIN, Tata Mustasya menyatakan ada sejumlah opsi yang dapat pemerintah lakukan.Β Pemerintah dapat secara bertahap meningkatkan pungutan produksi batu bara secara progresif.

Menurutnya, dengan langkah ini, Indonesia dapat mengumpulkan pundi-pundi untuk transisi energi, tak hanya penutupan PLTU.

Dari berbagai skenario, Indonesia juga bisa memperoleh pembiayaan hingga 170 persen dari kebutuhan transisi energi dalam dokumen JETP US$ 96,1 miliar dengan pungutan progresif. Bahkan, dalam skenario paling kecil, Indonesia bisa mendapatkan dana 35% dari kebutuhan JETP. Dana tersebut cukup untuk membiayai pembangunan jaringan listrik dan pensiun dini PLTU.

β€œIni menunjukkan, kalau pemerintah punya kemauan politik untuk meningkatkan pungutan batu bara, Indonesia sebenarnya bisa membiayai transisi energi,” jelas Tata.

Selain itu, lanjut dia, pemerintah dapat menerapkan pajak karbon untuk PLTU, dengan batasan emisi dan harga yang tepat. Langkah ini menjadi disinsentif bagi bisnis PLTU lantaran akan memangkas laba. Sehingga, mendorong pemilik PLTU untuk beralih ke bisnis energi terbarukan.

Tak hanya itu, semakin tidak menguntungkannya bisnis ini, Indonesia dapat menurunkan biaya untuk menutup PLTU. Pajak karbon juga dapat menjadi sumber pendanaan.

β€œGap yang ada dalam pensiun dini itu PLTU masih mendapat karpet merah dengan berbagai fasilitas yang membuat untungnya masih besar. Sehingga, tidak ada urgensi pensiun ini. Penerapan pajak karbon ini memang berproses, tetapi harus dilakukan dari sekarang,” tambah Tata.

Pemberian Fasilitas Menghambat Pengembangan Energi

Ada sejumlah faktor yang menghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia. Salah satunya adalah banyaknya fasilitas untuk sektor energi fosil, termasuk batu bara. Karena fasilitas tersebut, pemerintah pun menjadi enggan untuk mengakhiri PLTU mengingat banyaknya dana yang telah mengalir ke sana.

Menurut Peneliti Kebijakan Energi International Institute for Sustainable Development (IISD), Martha Maulidia, akibat dari pemberian fasilitas tersebut, akhirnya Indonesia terkunci pada situasi di carbon-lock in.Β 

β€œKarena sudah sayang mengucurkan uang ke sana, bukannya di-stop, kita malah terus bakar duit ke sana. Subsidi ke energi fosil perlu dicabut dulu. Baru kita terapkan pajak karbon, agar uang negara tidak sekadar berpindah dari kantong kanan ke kantong kiri,” ungkap Martha.

BACA JUGA: Ada Pelanggaran Hak Asasi karena Polusi Tak Teratasi

Menurutnya, pemerintah perlu bertransformasi untuk merealisasikan transisi energi. Terutama, agar pertumbuhan energi terbarukan dapat naik signifikan.

Selain itu, subsidi dan kompensasi listrik pada 2022 mencapai lebih dari Rp 500 triliun. Jika Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil, besaran subsidi dan kompensasi energi akan dapat dipangkas dan direalokasikan ke sektor lain yang lebih penting.

β€œKalau Indonesia menjalankan business as usual, masih banyak kepentingan di RUKN dan RUPTL. Artinya, bauran energi terbarukan tidak akan naik signifikan. Selain itu, juga perlu ada perubahan kebijakan di industri, fiskal, keuangan, misalnya untuk menyiasati mahalnya cost of fund proyek energi terbarukan. Tidak mungkin kita berharap ada hasil berbeda dari usaha yang sama saja,” ungkap Martha.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top