Sepanjang 2025, Pemerintah Masih Absen dalam Mendorong Transisi Energi

Reading time: 3 menit
Sepanjang 2025, pemerintah masih absen dalam mendorong transisi energi. Foto: Kemenhut
Sepanjang 2025, pemerintah masih absen dalam mendorong transisi energi. Foto: Kemenhut

Jakarta (Greeners) – Sepanjang 2025, organisasi masyarakat sipil menilai kebijakan dan tindakan pemerintah di sektor energi dan ketenagalistrikan masih mengabaikan agenda transisi energi yang sesungguhnya. Alih-alih mendorong peralihan menuju energi bersih, pemerintah justru terus mempromosikan berbagai solusi palsu yang tidak menyelesaikan akar krisis iklim.

Salah satu contohnya adalah kebijakan co-firing biomassa yang direncanakan bersamaan dengan perpanjangan umur pakai pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara, dalam Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN). Kebijakan ini berisiko meningkatkan kerentanan lingkungan, terutama akibat deforestasi.

Data Trend Asia mencatat, sepanjang 2014–2024, Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat mengalami kehilangan jutaan hektare hutan alam. Kehilangan ini terjadi akibat ekspansi industri ekstraktif yang masif. Di tiga provinsi tersebut, terdapat 31 izin Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) yang beroperasi di area seluas lebih dari satu juta hektare.

Dalam konteks tersebut, memasukkan co-firing biomassa sebagai sumber listrik berpotensi memperluas deforestasi. Bahkan, memicu bencana yang lebih masif, seiring alih fungsi hutan menjadi hutan tanaman energi (HTE).

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai bahwa RUKN dan RUPLT masih menjadikan batu bara sebagai tumpuan kelistrikan dan belum terlihat upaya phaseout batu bara dari sistem kelistrikan.

Menurut Pengampanye Tata Ruang dan Infrastruktur Walhi, Dwi Sawung, perencanaan transisi energi masih mengandalkan energi fosil lain sebagai pengganti energi fosil yang akan di-phase down. Peralihan dari satu energi fosil ke energi fosil lain ini tidak menyelesaikan krisis iklim secara substantif.

“Tidak jelas target kapan PLTU batu bara satu per satu akan pensiun,” kata Dwi dalam keterangan tertulisnya.

Sejumlah organisasi lingkungan dan analis independen juga berulang kali mengingatkan bahaya solusi palsu yang mahal dan melanggengkan industri ekstraktif. Dalam situasi ini, pemerintah perlu memilih strategi transisi energi yang benar-benar memutus rantai ekstraksi sumber daya alam.

Ajukan Gugatan terhadap RUKN

Pada September 2025, tim advokasi Bersihkan Indonesia mengajukan gugatan terhadap RUKN ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Gugatan ini diajukan karena RUKN dinilai masih melanggengkan ketergantungan Indonesia pada energi fosil. Selain itu, RUKN juga dinilai gagal mencerminkan komitmen transisi energi yang adil.

Menurut para penggugat, RUKN memaksakan perpanjangan operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara hingga 2060 melalui skema co-firing biomassa. Selain itu, dokumen tersebut juga meningkatkan ketergantungan pada gas fosil dan menggantungkan target penurunan emisi pada teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS). Bahkan, memasukkan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).

Gugatan tersebut juga menyoroti besarnya kebutuhan investasi energi yang tercantum dalam RUKN. Angkanya mencapai USD 1.092 miliar atau rata-rata USD 30,33 miliar per tahun untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) 2060. Angka ini tidak efisien dan berpotensi berdampak pada kenaikan tarif listrik maupun peningkatan beban subsidi energi.

Dalam RUKN 2025–2060, pemerintah masih merencanakan operasional 54 gigawatt (GW) PLTU batu bara hingga 2060. Puncak kapasitas diperkirakan mencapai 62,4 GW, termasuk rencana penggunaan co-firing biomassa sebesar 5–30 persen.

Gugatan terhadap RUPTL

Setelah dua bulan gugatan RUKN, Walhi bersama Trend Asia, Greenpeace Indonesia, serta empat warga terdampak mengambil langkah hukum. Mereka mengajukan gugatan terhadap RUPTL 2025–2034 ke PTUN Jakarta. RUPTL dinilai tidak sah secara hukum, melemahkan komitmen transisi energi, serta berpotensi memperparah krisis iklim dan ketidakadilan lingkungan.

Para penggugat juga menilai RUPTL tidak menjalankan mandat Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025–2045 dan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 karena tidak memuat peta jalan pemensiunan PLTU.

Menurut penggugat, dokumen tersebut justru memasukkan pembangunan PLTU baru sebesar 2.600 megawatt (MW). Bahkan, memperpanjang usia PLTU hingga 10–20 tahun dan meningkatkan ketergantungan pada pembangkit gas fosil.

Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, menyebut RUPTL baru yang memberikan ruang besar bagi peningkatan kapasitas pembangkit gas dan batu bara sebagai langkah mundur yang berbahaya.

“Alih-alih mempercepat transisi energi, dokumen ini justru mengunci Indonesia dalam ketergantungan pada energi fosil yang mahal, polutif, dan berisiko secara finansial,” ujar Bondan.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top