Usai COP30, Aliansi Rakyat Soroti Mekanisme Pendanaan Iklim

Reading time: 2 menit
Aliansi Rakyat menyoroti mekanisme pendanaan iklim. Foto: Rafa Neddermeyer/COP30 Brasil Amazônia
Aliansi Rakyat menyoroti mekanisme pendanaan iklim. Foto: Rafa Neddermeyer/COP30 Brasil Amazônia

Jakarta (Greeners) – Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (Aruki) menyoroti keputusan dalam Belem Political Package atau paket hasil COP30, terutama terkait komitmen melipatgandakan pendanaan adaptasi iklim hingga 2035. Hingga saat ini, belum ada kejelasan mengenai skema penyaluran maupun mekanisme pendanaan iklim tersebut.

Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Torry Kuswardono, menyatakan bahwa tidak ada ketegasan, mekanisme yang jelas, mengikat, terukur, serta transparan. Hal itu terkait pihak-pihak yang akan mengalokasikan dana tersebut dan bagaimana realisasinya.

BACA JUGA: IIED: Hanya 10 Persen Dana Iklim yang Sampai ke Masyarakat Adat

Ia menilai ketidakjelasan ini menunjukkan kegagalan COP30 dalam mendesak negara-negara utara dan para pencemar besar bertindak. Negara-negara tersebut seharusnya bertanggung jawab atas utang sejarah mereka terkait krisis iklim.

“Padahal, peningkatan krisis iklim saat ini terjadi akibat ketimpangan penguasaan sumberdaya alam yang berlangsung menyejarah dilakukan negara-negara utara, serta korporasi pencemar yang memperburuk sistem keseimbangan atmosfer bumi,” ujar Torry dalam keterangan tertulisnya, Rabu (26/11).

Tantangan Transisi Energi

Aruki juga menyoroti peluncuran 59 indikator Global Goal on Adaptation (GGA). Mereka menilai arah transisi energi masih mengabaikan tuntutan masyarakat global untuk menghentikan industri fosil sebagai penyebab utama krisis iklim.

Dalam penyusunan GGA, Aruki menilai terdapat pelemahan pada aspek Means of Implementation. Penyediaan dukungan teknologi hingga penguatan kapasitas berpotensi menjadi beban tambahan bagi negara-negara berkembang, baik dalam pelaksanaan maupun pelaporan.

Kepala Divisi Kehutanan dan Keanekaragaman Hayati ICEL, Difa Shafira, menjelaskan bahwa keputusan COP30 terkait Just Transition Work Programme menekankan hak asasi manusia, termasuk hak masyarakat adat, komunitas lokal, perempuan, pemuda, penyandang disabilitas, dan partisipasi bermakna. Namun, tidak memuat komitmen konkret menghentikan penggunaan bahan bakar fosil.

“Hilangnya rujukan eksplisit mengenai phase-out bahan bakar fosil dalam narasi energi justru menjadi bumerang terhadap upaya transisi energi global yang lebih ambisius,” ujar Dhifa.

Desak RUU Keadilan Iklim

Aruki menyayangkan sikap pemerintah yang absen dan sangat pasif untuk menyuarakan kepentingan rakyat Indonesia. Menurut Aruki, pemerintah lebih banyak memfasilitasi aktor korporasi pencemar pada COP 30.

Delegasi Resmi Indonesia bahkan menjadi sorotan masyarakat internasional karena membawa agenda komitmen iklim yang dinilai bertentangan dengan aspirasi rakyat. Beberapa di antaranya adalah dorongan terhadap perdagangan karbon dan ketiadaan sikap tegas pemerintah dalam mendukung penghentian industri fosil. Selain itu, proyek-proyek iklim di dalam negeri juga terbayangi pelanggaran hak asasi manusia.

BACA JUGA: COP29 Tetapkan Pembiayaan Iklim 300 Miliar USD

Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Walhi Nasional, Uli Arta Siagian, mengatakan bahwa selama COP30 pemerintah lebih fokus pada perdagangan karbon. Padahal, seharusnya pemerintah menunjukkan komitmen nyata untuk menurunkan emisi dan melindungi kelompok rentan dari dampak perubahan iklim.

“Perdagangan karbon, khususnya karbon hutan berpotensi menjadi ajang greenwashing dan green-grabbing,” ujar Uli.

Realitas di lapangan menunjukkan bahwa proyek-proyek transisi energi di dalam negeri berjalan melalui skema Proyek Strategis Nasional (PSN). Skema ini sering kali sarat dengan kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Aruki menilai PSN memberi kemudahan perizinan, percepatan pengadaan tanah, dan diskresi besar, membuka ruang sistematis untuk pelanggaran serius. Kondisi ini mencakup kriminalisasi warga, penggusuran paksa, perampasan ruang hidup, perusakan lingkungan, intimidasi aparat, serta impunitas bagi perusahaan.

Dengan demikian, Aruki mendesak agar pemerintah segera membahas dan mengesahkan RUU Keadilan Iklim. Terutama agar subjek-subjek rentan seperti masyarakat adat, penyandang disabilitas, perempuan, orang muda, buruh dan pekerja informal, nelayan, masyarakat miskin kota, serta lansia mendapatkan perhatian utama. Mereka harus menjadi subjek sentral dalam seluruh agenda dan aksi iklim yang berkeadilan.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top