Jakarta (Greeners) – Hasil negosiasi Conference of Parties ke-29 (COP29) menetapkan negara maju untuk memberikan pembiayaan iklim setidaknya 300 miliar USD per tahun pada 2035 kepada negara berkembang. Meskipun jumlah ini masih jauh dari kebutuhan, kesepakatan ini merupakan capaian penting dalam negosiasi iklim yang perlu terus didorong.
Managing Director World Resource Institute (WRI) Indonesia, Arief Wijaya mengatakan bahwa sebelumnya negara-negara peserta menetapkan kesepakatan pembiayaan iklim pada angka 250 miliar USD per tahun.
BACA JUGA: Walhi Kritik Pidato Hashim di COP 29: Prioritaskan Bisnis Ketimbang Krisis Iklim
Setelah melalui diskusi yang alot, mereka menyepakati angka 300 miliar USD. Arief menilai ini sebagai capaian positif. Namun demikian, ia menyadari jumlah tersebut belum mencukupi kebutuhan yang sebenarnya. Negara-negara berkembang, seperti yang ada di Afrika dan kepulauan kecil, bahkan menginginkan dana langsung sebesar 1,3 triliun USD.
“Walaupun angka ini belum cukup, ini adalah kemajuan yang perlu terus kita perjuangkan,” kata Arief di Jakarta pada Selasa (26/11).
Dalam COP ke-15, negara maju diminta menyediakan dana sebesar 100 miliar USD. Pencapaian menuju 300 miliar dolar AS ini merupakan langkah positif karena menunjukkan kemajuan dari penetapan di COP15.
Ke depan, Arief berharap semua pihak mendorong pembiayaan iklim untuk mencapai target ambisius, yaitu 1,3 triliun dolar AS pada 2035. Ia menyatakan bahwa semua pihak harus memperjuangkan kesepakatan ini dan memastikan tercapai pada COP30 mendatang.
Perkuat Perlindungan Hak Asasi Manusia
Di samping itu, dalam COP29, pembahasan utama juga fokus pada Artikel 6 yang mengatur kerja sama internasional untuk mencapai target Nationally Determined Contribution (NDC). Tujuan dari kerja sama ini adalah agar negara-negara dapat saling berkolaborasi untuk mencapai target emisi yang sesuai dengan kesepakatan.
Artikel 6 mencakup beberapa mekanisme, salah satunya melalui pasar karbon (market mechanism). Tujuan mekanisme ini untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam perdagangan emisi antarnegara.
Pada Artikel 6.2, yang melibatkan kerja sama antar negara, para pihak menyepakati mekanisme otorisasi dan registrasi untuk mencegah penyalahgunaan dalam perdagangan emisi antarnegara. Mereka juga berhasil menyepakati mekanisme dan standar ini pada COP29, termasuk proses transparansi yang melibatkan tinjauan teknis.
BACA JUGA: Greenpeace Desak Pencemar Bayar Dampak Kerusakan Lingkungan
Pada Artikel 6.4, mereka juga menyepakati mekanisme Paris Agreement Crediting Mechanism. Mekanisme ini lebih terpusat, diawasi oleh badan independen, dan fokus pada perlindungan lingkungan serta hak asasi manusia.
“Misalnya, ketika ada proyek terkait kehutanan atau pengurangan emisi lainnya, ada mekanisme yang memastikan bahwa masyarakat lokal atau kelompok adat yang terlibat menyetujui proyek tersebut,” kata Climate Analyst WRI, Hapsari Damayanti.
Menurut Hapsari, agenda COP29 menjadi pencapaian penting dalam upaya global mengatasi perubahan iklim. Ini menjadi batu loncatan menuju COP30 yang akan berlangsung di Brasil. Ia berharap COP30, yang memperingati 15 tahun Paris Agreement, bisa menghasilkan capaian besar dalam kerja sama global.
Sementara itu, Indonesia berkomitmen meningkatkan kapasitas pembangkit listrik hingga 100 gigawatt dalam 15 tahun. Sebanyak 75 persen dari kapasitas tersebut akan berasal dari energi terbarukan. Selain itu, Indonesia berencana memanfaatkan teknologi carbon capture and storage (CCS).
Indonesia juga akan merehabilitasi hutan seluas 12,7 juta hektar untuk mendukung ketahanan pangan. Komitmen ini mendukung upaya Indonesia dalam memenuhi target NDC.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia