Jakarta (Greeners) – Koalisi Draw The Line: Reset Indonesia menggelar long march dari Terowongan Kendal menuju Istana Negara, Jakarta. Mereka menuntut pemerintah mengambil langkah perubahan untuk mengatasi krisis iklim dan demokrasi. Aksi ini didasari oleh dampak krisis iklim yang semakin nyata. Hal ini tercermin dari terjadinya 3.472 bencana sepanjang 2024 menurut BNPB, biaya hidup masyarakat yang terus naik, dan ruang demokrasi makin menyempit.
Peserta hadir di aksi ini dengan kostum kreatif sebagai simbol ekspresi publik. Melalui orasi, pertunjukan seni, dan partisipasi publik yang luas, aksi ini menjadi simbol solidaritas untuk mendorong sistem energi dan pembangunan yang lebih bersih, adil, dan berkelanjutan.
Peserta Draw The Line menyampaikan sejumlah tuntutan penting. Pertama, mereka mendesak adanya keputusan yang berbasis aspirasi masyarakat melalui pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Keadilan Iklim dan RUU Masyarakat Adat.
Mereka juga meminta adanya penguatan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perlindungan bagi pembela lingkungan, serta desentralisasi dan demokratisasi energi. Hal ini lantaran banyak beban ekonomi yang ujungnya menjadi tanggungan masyarakat dan buruh.
Field Organizer 350.org Indonesia, Suriadi Darmoko mengatakan bahwa aksi ini adalah seruan untuk menarik batas yang tegas dan menagih perubahan yang nyata. Menurutnya, harus ada perubahan arah kebijakan dengan berangkat dari kebutuhan dan partisipasi masyarakat terdampak.
“Kegiatan ini bukan sekadar formalitas yang menyalin keputusan elitis. Hal ini karena keadilan iklim bukan hanya soal menurunkan emisi, tetapi juga memutus siklus ketimpangan yang membuat rakyat menanggung biaya paling besar,” ujar Suriadi dalam keterangan tertulisnya, Jumat (19/9).
Selain itu, para peserta juga menuntut pemerintah untuk melindungi masyarakat, menyusul banyaknya peserta aksi protes dalam beberapa waktu terakhir yang ditangkap, mengalami luka-luka, bahkan meninggal dunia. Mereka mendesak pemerintah untuk membebaskan seluruh demonstran yang dikriminalisasi, mengembalikan TNI ke barak, dan menghentikan kriminalisasi aktivis lingkungan dan HAM. Sebab, ruang sipil yang aman adalah prasyarat untuk keadilan iklim.
Terapkan Pajak untuk Si Super Kaya
Dalam aksi ini, permasalahan ketimpangan ekonomi juga menjadi sorotan. Mereka mendesak pemerintah untuk menerapkan pajak khusus si super kaya, mencabut insentif untuk industri batu bara, menarik pajak windfall profit pada sektor ekstraktif, dan memberikan subsidi bagi pembangunan energi terbarukan yang terdesentralisasi.
Direktur Eksekutif CELIOS mengingatkan bahwa saat ini banyak dari kelompok super kaya yang merupakan bagian dari perusak. Kekayaan yang berasal dari industri ekstraktif, seperti pertambangan dan kelapa sawit telah mencekik ruang hidup rakyat dan lingkungan.
“Riset CELIOS menunjukkan potensi pajak kekayaan dari 50 orang super kaya mencapai sekitar Rp81,56 triliun per tahun dengan hanya tarif dua persen dari aset,” kata Bhima.
Bima menambahkan, total penerimaan pajak dari berbagai instrumen pajak yang menargetkan orang superkaya dan perusak dapat mencapai Rp524 trilliun. Menurutnya, skema ini yang seharusnya didorong pemerintah, dibandingkan terus membebankan ke rakyat.
Tak hanya itu, peserta aksi juga mendesak realisasi sistem energi yang bersih dan berkeadilan. Mereka meminta pemerintah untuk mewujudkan komitmen energi terbarukan 100 persen. Kemudian, melakukan penutupan dini PLTU, dan mendorong emisi nol bersih pada 2050.
Dengan demikian, menurut peserta aksi pemerintah harus menutup celah bagi solusi palsu yang memperpanjang umur fosil. Kemudian, penting untuk memperkuat akses listrik hijau yang adil, dan membuka keran pembiayaan untuk proyek energi bersih milik komunitas. Dalam hal ini, khususnya komitmen iklim (nationally determined contribution/NDC) harus menetapkan penurunan emisi yang sejalan dengan Perjanjian Paris untuk menekan pemanasan global di bawah 1,5°C.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































