1,4 Juta Hektare Hutan Hilang, Walhi Tagih Tanggung Jawab Pemerintah

Reading time: 3 menit
Walhi tagih tanggung jawab pemerintah atas bencana ekologis di Aceh dan Sumatra. Foto: BPBD Kabupaten Padang Sidempuan
Walhi tagih tanggung jawab pemerintah atas bencana ekologis di Aceh dan Sumatra. Foto: BPBD Kabupaten Padang Sidempuan

Jakarta (Greeners) – Bencana banjir dan longsor yang menerjang Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat seharusnya tidak dipandang sebagai peristiwa alamiah semata. Walhi menyebut peristiwa tersebut merupakan konsekuensi dari kerusakan ekologis. Hal itu akibat buruknya kebijakan pengurus negara dan keserakahan korporasi yang merusak bentang alam di wilayah tersebut.

Berdasarkan catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), bencana ini disebabkan oleh kerentanan ekologis yang terus meningkat akibat perubahan bentang ekosistem penting seperti hutan dan diperparah oleh krisis iklim. Periode 2016 hingga 2025, hutan seluas 1,4 juta hektare di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat yang telah terdeforestasi. Hal itu akibat aktivitas 631 perusahaan pemegang izin tambang, Hak Guna Usaha (HGU) sawit, Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), geotermal, izin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM).

Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional, Uli Arta Siagian mengatakan bahwa pengurus negara harus bertanggung jawab untuk mengevaluasi seluruh izin perusahaan yang ada di Indonesia. Khususnya di ekosistem penting dan genting.

“Jika harus dilakukan pencabutan izin, maka itu harus dilakukan. Apalagi Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni sudah bilang akan mengevaluasi, ya, sekarang kami tagih. Kami punya nama-nama perusahaannya. Silakan evaluasi dan lakukan penegakan hukum. Jangan berjanji di tengah ratusan ribu orang tengah berduka di Sumatra,” kata Uli di Jakarta, Senin (1/12).

Uli menambahkan bahwa negara harus menagih pertanggungjawaban korporasi untuk menanggung biaya eksternalitas dari bencana yang terjadi. Negara tidak boleh menanggung biaya eksternalitas itu sendiri. Sebab, uang yang akan dipakai adalah uang negara yang sumbernya dari pajak rakyat. Korporasi yang telah menikmati keuntungan besar dari eksploitasi alam, kini wajib bertanggung jawab memulihkan ekosistem yang mereka rusak.

Walhi tagih tanggung jawab pemerintah atas bencana ekologis di Aceh dan Sumatra. Foto: BPBD Kabupaten Aceh Tenggara

Walhi tagih tanggung jawab pemerintah atas bencana ekologis di Aceh dan Sumatra. Foto: BPBD Kabupaten Aceh Tenggara

Rusaknya Daerah Aliran Sungai

Sementara itu, Walhi menjelaskan bahwa bencana di tiga provinsi tersebut umumnya bersumber dari wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) besar yang hulunya berada di bentang hutan Bukit Barisan. Sebagian besar dari DAS tersebut telah mengalami kerusakan.

Di Sumatra Utara, misalnya, wilayah yang paling terdampak adalah kawasan Ekosistem Harangan Tapanuli (Ekosistem Batang Toru) yang meliputi Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara, dan Kota Sibolga. Ekosistem Batang Toru sendiri telah mengalami deforestasi sebesar 72.938 hektare pada periode 2016–2024 akibat operasi 18 perusahaan.

Di Aceh, terdapat 954 DAS, dengan 60% berada dalam kawasan hutan dan 20 di antaranya berstatus kritis. Sejumlah DAS kunci menunjukkan tingkat degradasi yang mengkhawatirkan. DAS Krueng Trumon yang memiliki luas 53.824 hektare kehilangan 43% tutupan hutan pada 2016–2022. Bahkan, menyisakan hanya 30.568 hektare atau sekitar 57%.

DAS Singkil yang luasnya ditetapkan 1.241.775 hektare kini hanya menyisakan 421.531 hektare tutupan hutan. Artinya dalam 10 tahun terakhir, wilayah ini mengalami degradasi hingga 820.243 hektare atau 66%. Kerusakan juga terjadi di DAS Jambo Aye (44,71%), DAS Peusangan (75,04%), DAS Krueng Tripa (42,42%), dan DAS Tamiang (36,45%).

Di Sumatra Barat, kondisi serupa terlihat pada DAS Air Dingin, salah satu DAS administratif penting di Kota Padang dengan luas 12.802 hektare. Secara topografis, kawasan hulu DAS ini berada di Hutan Konservasi Bukit Barisan yang seharusnya menjadi benteng ekologis utama. Namun, tekanan aktivitas manusia telah menyebabkan degradasi signifikan. Dalam periode 2001–2024, DAS Air Dingin kehilangan sekitar 780 hektare tutupan pohon. Terutama di wilayah hulu yang berperan vital dalam meredam aliran permukaan dan mencegah banjir bandang.

Alam Tak Mampu Menahan Beban Kerusakan

Terjadinya bencana banjir dan longsor ini juga menyebabkan kelumpuhan di Aceh. Direktur Ekskutif Walhi Aceh, Ahmad Solihin mengungkapkan bahwa banjir yang terjadi telah melumpuhkan sedikitnya 16 kabupaten di Aceh. Baginya, bencana ini memberikan pesan keras bahwa alam tidak lagi mampu menahan beban kerusakan yang dipaksakan manusia.

“Bencana kali ini bukan hanya fenomena alamiah, melainkan bencana ekologis yang diproduksi oleh kebijakan pemerintah yang abai, permisif, dan memfasilitasi penghancuran ruang hidup masyarakat melalui investasi ekstraktif yang rakus ruang,” kata Ahmad.

Banjir berulang ini sebagai hasil akumulasi dari deforestasi, ekspansi sawit, hingga Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) yang dibiarkan merajalela. Menurutnya, pemerintah gagal menghentikan kerusakan di hulu dan terjadi pembiaran. Mereka justru terpaku pada solusi tambal sulam di hilir seperti pembuatan tebing sungai dan normalisasi sungai.

Senada dengan Ahmad, Andre Bustamar dari Walhi Sumatra Barat juga menyatakan bahwa penyebab bencana yang terjadi di wilayahnya juga akibat akumulasi krisis lingkungan. Menurutnya, fenomena tunggul-tunggul kayu yang hanyut terbawa arus sungai menunjukkan adanya aktivitas penebangan di kawasan hulu DAS.

“Hal ini memperkuat dugaan bahwa praktik eksploitasi hutan masih berlangsung dan menjadi penyebab langsung meningkatnya risiko bencana ekologis,” ujarnya.

Walhi khawatir bencana ekologis makin meluas akibat kebijakan iklim yang tidak ambisius dan justru mendorong emisi dari proyek energi. Keputusan COP 30 yang memajukan solusi palsu dan memperluas perdagangan karbon juga berpotensi memperparah ketergantungan pada energi fosil, merusak ekosistem, serta mengalihkan fokus dari pengurangan emisi yang nyata.

Walhi menegaskan bahwa skema offset dan teknologi semu hanya memperdalam krisis iklim, mulai dari deforestasi hingga meningkatnya bencana hidrometeorologi. Untuk itu, penting menyerukan transisi energi yang adil dan berbasis perlindungan lingkungan sebagai langkah penting mencegah kerusakan ekologis lebih lanjut.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top