Jakarta (Greeners) – Negosiasi menuju perjanjian plastik global untuk mengakhiri polusi plastik minggu ini memasuki titik penentuan. Pemerintah negara-negara Asia Tenggara didesak untuk lebih mengutamakan perlindungan lingkungan dan kesehatan dalam pertemuan Intergovernmental Negotiating Committee (INC-5.2) mengenai perjanjian plastik global.
Saat ini, para pemimpin dari 178 negara tengah berkumpul di Jenewa untuk mengambil keputusan penting yang akan menentukan masa depan perjanjian plastik global yang mengikat dan ambisius. Di tengah proses ini, berbagai perwakilan masyarakat sipil juga hadir. Mereka menyuarakan mendesak para pemimpin dunia agar tidak melupakan kepentingan jangka panjang umat manusia dan kelestarian lingkungan.
“Seiring negosiasi hampir mencapai tahap akhir, kami mendesak para delegasi untuk mengingat mandatnya, yaitu mengakhiri polusi plastik dan melindungi kesehatan manusia serta lingkungan, di sepanjang siklus hidup plastik,” ujar pendiri Nexus3 Foundation, Yuyun Ismawati dalam keterangan tertulisnya, Senin (11/8).
Yuyun menyatakan bahwa dunia tidak bisa lagi melanjutkan produksi dan konsumsi plastik yang tidak berkelanjutan. Menurutnya, satu-satunya cara untuk mengatasi krisis ini adalah dengan membatasi produksi plastik, mengendalikan penggunaan bahan kimia beracun, serta mengurangi subsidi bagi produsen plastik.
Sejumlah negara di Asia Tenggara juga telah menunjukkan ambisi besar dalam negosiasi. Mereka mengajukan proposal untuk mengurangi produksi plastik, menghapus bahan kimia beracun, meningkatkan transparansi dan keterlacakan bahan kimia, serta mempromosikan sistem guna ulang, isi ulang, perbaikan, dan pengurangan plastik bebas racun.
Namun, ambisi tersebut masih menunggu dukungan lebih lanjut. Lebih dari 100 negara telah menyatakan bahwa produksi plastik global saat ini sudah berlebih. Para ahli menekankan bahwa sangat penting untuk mengurangi dampak buruk plastik. Lebih dari 1.100 ilmuwan mendukung pernyataan ini.
Pelobi Lemahkan Perjanjian Plastik
Direktur Pacific Environment Vietnam, Xuan Quach, juga menyampaikan seruannya kepada para negosiator untuk berempati. Ia meminta mereka memprioritaskan kepentingan jangka panjang seluruh kawasan di atas kepentingan sempit industri petrokimia dan plastik.
“Kami mendesak mereka untuk tidak mengorbankan lingkungan demi keuntungan ekonomi jangka pendek. Pikirkan generasi mendatang, dampak perubahan iklim pada kelompok rentan, dan kebutuhan mendesak untuk produksi dan konsumsi yang berkelanjutan,” kata Xuan.
Namun, di balik dorongan untuk perubahan ini, upaya negosiasi masih dibayangi tekanan besar dari industri. Negara-negara besar produsen petrokimia serta 234 perwakilan industri petrokimia dan bahan bakar fosil melakukan lobi besar-besaran.
Kepentingan mereka pun dinilai hanya untuk memperlambat negosiasi. Bahkan, melemahkan perjanjian yang hanya berfokus pada pengelolaan sampah.
Xuan menambahkan bahwa taktik seperti ini telah digunakan secara berulang dalam lima putaran negosiasi sebelumnya. Lalu, kini kembali terjadi di putaran keenam. Menurutnya, pendekatan semacam ini sudah terbukti gagal dalam menyelesaikan krisis plastik global.
Ironisnya, negara maju yang dipuji karena praktik pengelolaan sampah yang baik seringkali juga menjadi pengekspor besar sampah plastik yang membanjiri negara berkembang.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































