Banjir Bali Jadi Alarm Kerusakan Ekologis dan Tata Ruang yang Semrawut

Reading time: 3 menit
Banjir Bali jadi alarm kerusakan ekologis dan tata ruang. Foto: BNPB
Banjir Bali jadi alarm kerusakan ekologis dan tata ruang. Foto: BNPB

Jakarta (Greeners) – Bencana banjir melanda sejumlah daerah di Provinsi Bali sejak Selasa (9/9). Peristiwa ini bukan semata karena intensitas hujan yang tinggi, melainkan juga menjadi alarm kerusakan ekologis yang sudah lama terjadi di pulau ini.

Berdasarkan perkembangan kaji cepat penanganan darurat per Rabu (10/9) pukul 18.45 WIB, banjir mengakibatkan sembilan orang meninggal dunia, dua orang hilang, serta 202 kepala keluarga atau 620 jiwa terdampak. Enam kabupaten dan kota yang terendam banjir yakni Kota Denpasar, Kabupaten Jembrana, Gianyar, Klungkung, Badung, dan Tabanan.

Wilayah yang terdampak banjir ini mencakup enam kabupaten dan kota, yakni Kota Denpasar, Kabupaten Jembrana, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Badung, dan Kabupaten Tabanan. Menurut pegiat lingkungan Bali, IGNA Agus Norman Sasono, selain curah hujan tinggi, pemicu banjir adalah tata ruang yang semrawut, penyempitan daerah resapan, dan pembangunan masif tanpa memperhatikan lingkungan.

“Banyak lahan hijau di Bali yang sekarang ini berubah fungsi menjadi perumahan, vila di tebing, atau kawasan komersial karena dorongan investor dan lemahnya pengawasan. Hal ini membuat air hujan tidak lagi meresap ke tanah, melainkan langsung mengalir ke sungai dan selokan yang kapasitasnya terbatas,” ujar Agus kepada Greeners melalui telepon, Kamis (11/9).

BACA JUGA: Perempuan Muara Gembong di Tengah Ancaman Banjir Rob

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan tren pembangunan di Bali kian pesat. Jumlah hotel bintang yang pada tahun 2000 hanya 113 unit, melonjak menjadi 541 unit pada 2023, dan kembali naik menjadi 593 unit pada 2024.

Jumlah kamar hotel nonbintang juga meningkat drastis, dari 19.529 kamar pada tahun 2000 menjadi 54.184 kamar pada 2019. Lonjakan pembangunan ini sejalan dengan berkurangnya lahan produktif. Penelitian Program Studi Agroekoteknologi Universitas Udayana (2023) mencatat penyusutan lahan persawahan hingga 41 persen di Kota Denpasar dan Kuta (Badung) dalam kurun 20 tahun terakhir.

Kearifan Lokal Terabaikan

Agus juga menilai bahwa pembangunan yang berlebihan telah mengabaikan kearifan lokal Bali, seperti konsep Tri Hita Karana dan sistem Subak. Konsep itu sejatinya menjaga keseimbangan manusia, alam, dan spiritualitas. Menurutnya, jika adat masih kuat, aturan tradisional bisa menahan laju eksploitasi. Namun kini, kebijakan lebih sering berpihak pada kepentingan ekonomi ketimbang kelestarian alam.

“Lahan yang dulunya dianggap tidak layak dibangun, seperti tebing pinggir sungai, kini ramai dijadikan vila karena iming-iming investor. Akses jalan pun dibuka lebar, meski bertentangan dengan pakem adat,” tambah Agus.

Menurut Agus, jika peran adat masih kuat, seharusnya kerusakan tata ruang ini bisa dicegah. Sayangnya, banyak kebijakan lebih berpihak pada keuntungan jangka pendek dibanding kelestarian lingkungan. Agus menekankan perlunya perbaikan regulasi dan koordinasi antarlevel pemerintahan, dari desa hingga pusat.

“Otonomi daerah yang seharusnya memberi keleluasaan justru sering dimanfaatkan untuk membenarkan pembangunan tanpa kontrol,” kata Agus.

Respons Cepat Banjir Bali

Di sisi lain, pemerintah pusat juga merespons cepat. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Letjen TNI Suharyanto, melakukan rapat koordinasi dan peninjauan lokasi terdampak di Provinsi Bali pada Rabu (10/9).

Tiba di Kota Denpasar pada malam hari, Suharyanto memimpin langsung rapat koordinasi di Gedung Jaya Sabha, Rumah Jabatan Gubernur Bali. Gubernur Bali dan forkopimda yang wilayahnya terdampak banjir turut menghadiri rapat tersebut .

Kepala BNPB menyatakan bencana banjir kali ini akibat Gelombang Rossby dan Gelombang Kelvin. Situasi terkini, ketinggian debit air beberapa sungai mulai normal.

BACA JUGA: Pembangunan Berbasis Jawa Sentris Picu Bencana Ekologis Pulau Jawa

“Kondisi per malam ini jam 21.00 WITA tinggi muka air di sungai-sungai sudah kembali normal. Banjir ini merupakan imbas curah hujan yang sangat tinggi,” ucap Suharyanto.

Suharyanto menambahkan, kejadian ini menyebabkan kerusakan infrastruktur dan menelan korban jiwa. Unsur gabungan berkisar 400 sampai 600 orang, akan terus berupaya mencari korban hilang, serta melakukan pembersihan.

Di Kota Denpasar, tercatat lima korban meninggal dunia dan dua orang hilang. Kemudian, di Kabupaten Jembrana, terdapat dua orang meninggal dunia dengan total 103 kepala keluarga atau 200 jiwa terdampak. Di Kabupaten Gianyar, satu orang meninggal dunia.

Sementara itu, di Kabupaten Badung tercatat satu orang meninggal dunia. Di Kabupaten Klungkung tercatat 99 kepala keluarga atau 420 jiwa terdampak. Kemudian, di Kabupaten Tabanan masih dalam proses pendataan. Imbas banjir tersebut, sebagian warga juga terpaksa harus mengungsi karena tempat tinggal mereka masih terendam banjir.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top