Banjir Sumatra Jadi Pengingat bagi Pemerintahan Prabowo untuk Berbenah

Reading time: 2 menit
Banjir Sumatra jadi pengingat bagi pemerintahan Prabowo untuk berbenah. Foto: Rivan Hanggarai / Greenpeace
Banjir Sumatra jadi pengingat bagi pemerintahan Prabowo untuk berbenah. Foto: Rivan Hanggarai / Greenpeace

Jakarta (Greeners) – Greenpeace Indonesia mengingatkan bahwa banjir besar di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat harus menjadi peringatan terakhir bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Pemerintah harus membenahi kebijakan pengelolaan hutan, lingkungan hidup, serta komitmen iklim secara total.

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, mengungkapkan bahwa banjir besar tersebut menandakan dua hal. Pertama, dampak krisis iklim yang kini tidak lagi bisa dihindari, dan kedua adalah kerusakan lingkungan hidup yang telah berlangsung menahun.

“Pemerintah harus mengakui bahwa mereka telah salah dalam tata kelola hutan dan lahan. Akibatnya, hutan Sumatra hampir habis, terjadi degradasi lingkungan parah. Kini, masyarakat Sumatra harus menanggung harga yang amat mahal dari bencana ekologis ini,” ungkap Arie.

Ia menambahkan bahwa Prabowo dan beberapa menterinya sudah menyingggung soal deforestasi. Namun, mereka seolah mengesankan bahwa kerusakan hutan di Sumatra terjadi karena penebangan liar. Padahal, selain penebangan liar, deforestasi masif terjadi karena dilegalkan oleh negara dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya.

Selain mengevaluasi izin-izin di Sumatra, pemerintah juga harus menghentikan perusakan hutan di wilayah lain seperti Papua. Kerusakan hutan di Raja Ampat dan pulau-pulau kecil yang dibebani tambang nikel, serta deforestasi di Merauke untuk proyek swasembada energi dan pangan yang keliru arah, harus segera dihentikan.

“Pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen yang Prabowo cita-citakan tak akan tercapai jika lingkungan rusak dan bencana iklim terus mengintai kita,” tambah Arie.

Kerusakan Ekologis Perparah Banjir

Banjir besar yang melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat ini telah menelan lebih dari 600 korban jiwa. Bahkan, ratusan orang masih hilang dan ratusan ribu lainnya terpaksa mengungsi. Peristiwa ini menunjukkan semakin nyata dampak krisis iklim. Terutama, melalui cuaca ekstrem dan hujan lebat yang kian parah akibat kehadiran Siklon Tropis Senyar pada 25–27 November 2025 di Selat Malaka.

Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), lewatnya siklon tropis hingga mencapai daratan Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat merupakan fenomena yang tidak lazim. Sebab, Indonesia berada dekat garis ekuator. Kondisi ini membuat intensitas hujan meningkat drastis dan memperbesar risiko bencana hidrometeorologi di wilayah tersebut.

Selain faktor meteorologis, kerusakan ekologis juga turut memperparah dampak banjir di Sumatra. Deforestasi dan alih fungsi lahan, terutama di kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) menjadi penyebab utama berkurangnya daya dukung lingkungan.

Analisis Greenpeace yang merujuk data Kementerian Kehutanan menunjukkan bahwa selama 1990–2024, hutan alam di Sumatra Utara banyak beralih fungsi menjadi perkebunan, pertanian lahan kering, dan hutan tanaman. Pola serupa juga terjadi di Aceh dan Sumatra Barat.

Peneliti senior Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi, mengungkapkan bahwa mayoritas DAS di Pulau Sumatra kini berada dalam kondisi kritis. Tutupan hutan alam tersisa kurang dari 25 persen. Secara keseluruhan, hanya sekitar 10–14 juta hektare hutan alam yang masih bertahan. Angka tersebut kurang dari 30 persen dari total luas Pulau Sumatra yang mencapai 47 juta hektare.

Salah satu DAS yang mengalami kerusakan paling parah adalah DAS Batang Toru. Kawasan tersebut meliputi Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Tengah. Padahal kawasan ini merupakan salah satu bentang hutan tropis terakhir di Sumatra Utara. Namun, kini terfragmentasi akibat berbagai perizinan industri yang rakus lahan, termasuk pembangunan PLTA Batang Toru. Selain menyebabkan hilangnya hutan, aktivitas tersebut juga mengancam habitat orang utan Tapanuli.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top