Jakarta (Greeners) – Sekitar 8 juta ton sampah plastik memenuhi lautan dunia setiap tahun. Sampah plastik bukan hanya menjadi polusi utama dalam ekosistem laut, tapi juga sebagai media penyebaran mikroalga laut berbahaya. Hal ini berdampak buruk pada makhluk hidup lain, termasuk manusia.
Mikroalga beracun yang muncul di perairan dapat membahayakan organisme laut, seperti ikan dan avertebrata hingga manusia yang mengkonsumsi mikroalga tersebut. Bahkan mikroalga beracun ini memicu sejumlah kasus kematian.
Beberapa jenis mikroalga berbahaya di perairan Indonesia yaitu A-Trichodesmium erythraeum, B-Noctiluca scintillans, dan D-Prorocentrum lima.
Peneliti Indonesian Culture Collection (InaCC), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Danang Ambar Prabowo mengatakan, peranan plankton sangat vital dalam ekosistem perairan. Berbagai organisme nabati mampu menghasilkan bahan organik. Akan tetapi, ternyata juga ada mikroalga beracun yang berbahaya.
Dalam konteks ini, plastik sebagai polutan laut dapat bertahan selama lebih dari 100 tahun. Itulah kenapa sampah plastik dapat berpotensi memicu penyebaran mikroalga laut beracun semakin luas.
“Dibandingkan dengan sampah jenis lain, potensi penyebaran mikroalga laut menggunakan plastik lebih tinggi karena sifatnya yang tahan lama di lingkungan,” katanya dalam diskusi bertajuk “Melalui Bioteknologi, Bioengineering, dan Biodiversitas Terapan, BRIN Perkuat Bioekonomi Indonesia”, Rabu (23/11).
Pembuangan Sampah Plastik ke Pantai
Ia menyorot masih banyaknya masyarakat yang membuang sampah plastik ke pantai. Padahal, begitu plastik tenggelam ke dasar laut maka akan ditempeli mikroalga dan menyebar menuju habitatnya yang baru. “Mereka terus berkembang dan berpotensi menjadi spesies invasif berbahaya,” imbuhnya.
Terdapat setidaknya 200 jenis spesies mikroalga berbahaya yang ada di dunia, mulai dari mikroalga yang menghasilkan racun atau toksin hingga memicu banyak ikan mati. Selain itu, ada banyak ikan mati karena ledakan beberapa mikroalga Harmful Algal Bloom (HAB) seperti Skeletonema costatm, Prorocentrum sp., dan Thalassiosira sp.
“Populasi mikroalga yang tumbuh meledak itu ada yang menghasilkan racun (toksik) dan non toksik. Meskipun begitu ini dapat menyebabkan terganggunya kondisi lingkungan,” kata dia.
Bahkan, beberapa jenis biota laut dapat mengakumulasi racun yang dihasilkan oleh berbagai jenis mikroalga lewat rantai pakan. “Jika manusia memakan makanan laut seperti kerang dan udang yang mengandung racun dari mikroalga itu maka menimbulkan berbagai gejala keracunan bahkan dapat mematikan,” paparnya.
Fenomena HAB pernah terjadi diikuti dengan peristiwa matinya ikan secara besar-besaran. Seperti di Teluk Jakarta pada tahun 2004, 2005 dan 2007. Tak hanya ikan yang mati, tapi juga kerang, krustasea dan biota lainnya.
Berdasarkan penelitian Danang berjudul “Potensi Penyebaran Mikroalga Laut Berbahaya melalui Sampah dan Sampah Plastik di Perairan Indonesia” yang dilakukan di Pantai Tanjung Pasir dan Pulau Tidung, sampah plastik mendominasi dengan temuan 20 macam spesies mikroalga laut berbahaya di dalamnya.
Wujudkan Bioindustri
Dalam kesempatan itu, Kepala Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan (OR HL) BRIN Iman Hidayat menyatakan, Indonesia adalah negara megabiodiversity dan sudah seharusnya menjadi negara bioindustri. Dengan begitu bisa meningkatkan nilai ekonomi negara.
Setidaknya terdapat tiga faktor yang menjadi tantangan Indonesia. Pertama, masih belum optimalnya kolaborasi lintas sektor antar peneliti.
Kedua, belum optimalnya kolaborasi antara peneliti dan sektor swasta. Iman menekankan adanya kepekaan peneliti dalam menyediakan permintaan sektor industri yang merupakan kebutuhan banyak orang.
Terakhir yakni penguasaan teknologi. Peneliti Indonesia tak sekadar mampu menggunakan teknologi tapi terus menciptakan teknologi terbaru untuk menghadapi tantangan zaman.
“Tantangan kita mulai dari kesehatan, pangan, perubahan iklim dan masalah lingkungan. Ini semua tugas besar kita,” tandasnya.
Penulis : Ramadani Wahyu
Editor : Ari Rikin