Jakarta (Greeners) – Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (IBUKOTA) kembali menuntut pemerintah untuk menjalankan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hal itu terkait gugatan hak udara bersih pada 2021. Meski putusan Mahkamah Agung (MA) pada 2023 memperkuat putusan tersebut, namun tak kunjung terlaksana. Sementara, polusi udara di Jakarta dan sekitarnya kian memburuk.
Koalisi IBUKOTA menyampaikan hal ini saat audiensi dengan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada Kamis (25/6). Audiensi dihadiri oleh para penggugat dan tim pengacara Koalisi IBUKOTA. Pertemuan membahas respons KLH terhadap Putusan MA No 2560 K/Pdt/2023. Putusan itu memerintahkan supervisi dan pengetatan ambang batas udara di kawasan Jabodetabek.
Sebagai tindak lanjut, KLH merevisi Peraturan Pemerintah No 41 Tahun 1999 tentang Baku Mutu Udara Ambien (BMUA). Revisi tersebut menjadi PP No 22 Tahun 2021 dengan ambang batas mengacu pada standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
BACA JUGA: Bicara Udara Kawal Perbaikan Kualitas Udara
Selain itu, melalui Surat Keputusan SK.929/MENLHK/SETJEN/KUM.1/8/2023, KLH telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) yang menjalankan upaya penanganan dan pengendalian pencemaran udara di Jabodetabek.
Menurut Tim Pengacara Koalisi IBUKOTA, Alif Fauzi Nurwidiastomo, revisi PP tersebut belum menjawab tuntutan publik. Publik menuntut agar kawasan Jakarta dan sekitarnya bersih dari polusi udara.
Mengacu laporan terbaru Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), ambang batas PM2.5 15 ΞΌg/m3 sesuai beleid tersebut terus terlampaui. Dalam hal ini, Jabodetabek mencapai rata-rata 30β55 ΞΌg/mΒ³ pada tahun lalu.
βKLH menyatakan sudah menerbitkan PP 22/2021. Akan tetapi, regulasi tersebut baru terbit setelah ada gugatan. Sehingga, patut bagi para penggugat untuk mengetahui sejauh mana kualitas implementasi kebijakan tersebut oleh Menteri Lingkungan Hidup selaku tergugat II, selain dari apa yang diminta dilakukan dalam amar putusan kasasi,β kata Alif dalam keterangan tertulisnya, Kamis (26/6).
Kawal Tuntutan Polusi Udara
Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Penghapusan Bensin Bertimbal (KPBB), Ahmad Safrudin sekaligus saksi, menambahkan bahwa perlu untuk terus mengawal tindak lanjut atas amar putusan MA.
Menurutnya, pemerintah saat ini belum melakukan tindakan nyata yang terukur implementasinya. Hal itu baik dalam konteks waktu maupun capaian kinerja. Apalagi, pemerintah juga seharusnya perlu merespons temuan-temuan baru terkait polusi udara.
“Guna melaksanakan putusan MA, urgent menerapkan Low Sulfur Fuel bagi kendaraan bermotor. Ini sebagai solusi mitigasi emisi sektor transportasi yang merupakan sumber polusi tertinggi,” ujarnya.
BACA JUGA: Pemerintah Harus Cepat Kendalikan Polusi Udara
Safrudin menambahkan, perlu juga mempersiapkan peraturan pembatasan penggunaan batu bara oleh industri dan PLTU di Jabodetabek. Hal ini menjadi langkah konkret karena batu bara merupakan jenis energi yang menyebabkan polusi paling tinggi.
Peneliti Center for Regulation, Policy, and Governance (CRPG), Dyah Paramita juga menegaskan bahwa upaya pengendalian polusi juga harus pemerintah daerah lakukan.
βPemerintah daerah terkait harus menyusun rencana yang jelas dan terukur untuk mengatasi pencemaran udara di wilayahnya. Perlu transparansi dan partisipasi publik dalam proses perencanaan serta implementasinya. Dengan demikian, masyarakat dapat terlibat dan memantau penanganan pencemaran udara dan pelaksanaan putusan pengadilan,β kata Dyah.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia