Di Balik Banjir Sumatra, Ada Jejak Industri Ekstraktif yang Merusak Hutan

Reading time: 5 menit
Jejak-jejak industri ekstraktif yang merusak hutan. Foto: JATAM
Jejak-jejak industri ekstraktif yang merusak hutan. Foto: JATAM

Jakarta (Greeners) – Bangunan hingga jalanan porak-poranda di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Kerusakan akibat banjir dan longsor itu bukanlah bencana hidrometeorologi biasa. Peristiwa yang terjadi ini merupakan cerminan rusaknya tata kelola ruang di Sumatra serta tingginya tingkat eksploitasi hutan.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 442 korban meninggal dunia. Ribuan warga kehilangan tempat tinggal hingga terpaksa mengungsi, sementara ratusan orang lainnya masih hilang.

Menurut Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), situasi ini tidak dapat lagi dijelaskan semata-mata dengan narasi “cuaca ekstrem”. Namun, harus dibaca sebagai akibat kerusakan ekosistem hulu dan daerah aliran sungai (DAS) oleh industri ekstraktif.

Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang Jatam olah menunjukkan bahwa Sumatra jadi zona pengorbanan untuk tambang minerba. Terdapat sedikitnya 1.907 izin usaha pertambangan minerba aktif dengan total luas 2.458.469,09 hektare.

BACA JUGA: Ekosistem Lahan Basah Terancam Industri Ekstraktif

Kepadatan izin ini terkonsentrasi di Bangka Belitung (443 izin), Kepulauan Riau (338), Sumatra Selatan (217), Sumatra Barat (200), Jambi (195), dan Sumatra Utara (170). Sementara itu, provinsi lain seperti Lampung, Bengkulu, Aceh, dan Riau juga dijejali puluhan hingga ratusan izin, baik di wilayah darat maupun laut.

“Luasan dan sebaran konsesi ini berarti jutaan hektare jaringan hutankebun rakyat, dan lahan basah yang dulu berfungsi sebagai penyangga air kini berubah menjadi area galianinfrastruktur tambang, dan jalur angkut, yang melemahkan kemampuan DAS untuk menahan dan mengalirkan air secara perlahan,” ujar Koordinator Jatam, Melky Nahar dalam keterangan tertulisnya, Jumat (28/11). 

Imbas Proyek PLTA

Berdasarkan analisisis Jatam, pemicu kerusakan ekosistem di Sumatra tidak hanya timbul dari tambang minerba. Sedikitnya ada 28 proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) beroperasi atau dikembangkan di pulau ini. Sebaran terbesar yaitu berada di Sumatra Utara sebanyak 16 titik. Kemudian, Bengkulu 5 titik, Sumatra Barat 3 titik, dan Riau 2 titik.

Menurut Melky, sebaran operasi PLTA ini menandakan bahwa hampir semua provinsi di Sumatra sedang didesak menjadi basis energi air yang sarat risiko ekologis. Di antara titik tersebut terdapat PLTA Batang Toru dan PLTA Sipansihaporas di Sumatra Utara yang memanfaatkan aliran dari salah satu DAS utama di Ekosistem Batang Toru. Padahal, kawasan tersebut secara ekologis begitu penting, namun kini penuhi bendungan, terowongan air, dan jaringan infrastruktur lain. 

Proyek PLTA Batang Toru telah membuka sedikitnya 56,86 hektare kawasan hutan di sepanjang aliran sungai. Hal itu terungkap berdasarkan analisis deret waktu citra Google Satellite atau Google Imagery oleh Jatam per 28 November 2025. Kawasan tersebut dimanfaatkan untuk bangunan utama, kolam, jalan, dan area penunjang. Hal ini tampak jelas sebagai pelebaran area terbuka di tubuh ekosistem.

“Kehadiran PLTA dalam skala masif memodifikasi aliran sungai, mengubah pola sedimen, dan memperbesar risiko banjir maupun longsor di hilir ketika kombinasi curah hujan ekstrem dan pengelolaan bendungan yang buruk terjadi bersamaan,” ungkapnya.

Perubahan Fungsi Hutan Lindung

Di tingkat kawasan hutan, skema Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH) menjadi pintu utama perubahan fungsi hutan lindung menjadi area ekstraksi. Di Pulau Sumatra tercatat sedikitnya 271 PPKH dengan total luas 53.769,48 hektare.

Dari jumlah tersebut, ada 66 pemberian izin untuk tambang dengan luas 38.206,46 hektare. Selanjutnya, 11 izin untuk panas bumi seluas 436,92 hektare dan 51 izin untuk migas seluas 4.823,87 hektare. Kemudian, terdapat 72 izin untuk berbagai proyek energi lainnya mencakup 3.758,68 hektare. Sisanya untuk kebutuhan telekomunikasi, pemerintahan, dan beragam kepentingan lain di kawasan hutan.

Salah satu pemegang PPKH adalah PT Agincourt Resources, operator tambang emas Martabe di bentang ekosistem Batang Toru. Bukaan lahannya mencapai 570,36 hektare di dalam kawasan hutan. Aktivitas ini menunjukkan skala intervensi langsung terhadap penyangga utama daerah aliran sungai (DAS). Padahal, DAS sebelumnya berfungsi menjaga kestabilan air serta mencegah banjir dan longsor.

Pada saat yang sama, ekspansi panas bumi turut mempersempit ruang hidup di berbagai pegunungan Sumatra. Saat ini terdapat delapan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang beroperasi. Empat di Sumatra Utara, satu di Sumatra Barat, dua di Sumatra Selatan, dan satu di Lampung.

BACA JUGA: Koalisi Jatim Peduli Agraria Tuntut Hentikan Perluasan Industri Ekstraktif

Angka tersebut belum mencakup wilayah yang masih berstatus Wilayah Penugasan Survei Pendahuluan dan Eksplorasi (WPSPE) maupun Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Jika wilayah-wilayah ini meningkat menjadi operasi penuh, pembukaan hutan untuk sumur produksi, jaringan pipa, serta akses jalan akan menambah tekanan ekologis.

“Apalagi, sebagian besar proyek panas bumi berada di lereng-lereng gunung berbentang curam. Kombinasi pembukaan hutan, pengeboran, dan perubahan struktur tanah berpotensi menambah kerentanan terhadap longsor dan banjir bandang,” ujar Melky.

Ia menegaskan bahwa jika seluruh data dipadukan, terlihat jelas beban industri di Sumatra. Pulau ini kini dibebani tiga lapis industri sekaligus, yaitu tambang minerba, PLTA, serta PLTP dan WPSPE/WKP yang mengeksploitasi pegunungan dan hulu DAS.

Jejak-jejak industri ekstraktif yang merusak hutan. Foto: BNPB Bidang Komunikasi Kebencanaan/ Muhammad Andhika Rivaldi

Jejak-jejak industri ekstraktif yang merusak hutan. Foto: BNPB Bidang Komunikasi Kebencanaan/ Muhammad Andhika Rivaldi

Tujuh Perusahaan Jadi Penyebab Utama

Di balik kerusakan yang terjadi di Pulau Sumatra, Direktur Walhi Sumatra Utara, Rianda Purba, menunjukkan tujuh perusahaan sebagai penyebab utama degradasi ekosistem Batang Toru. Kerusakan ini akibat aktivitas eksploitasi yang membuka tutupan hutan di kawasan tersebut.

Tujuh perusahaan tersebut ialah PT Agincourt Resources, PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), PT Pahae Julu Micro-Hydro Power, PT SOL Geothermal Indonesia, PT Toba Pulp Lestari Tbk (TPL), PT Sago Nauli Plantation, dan PTPN III Batang Toru Estate. Seluruhnya beroperasi di sekitar ekosistem Batang Toru, habitat orang utan tapanuli, harimau sumatra, tapir, dan berbagai spesies dilindungi lainnya.

Walhi Sumatra Utara mencatat PT Agincourt Resources telah mengurangi sekitar 300 hektare tutupan hutan dan lahan di DAS Batang Toru sepanjang 2015–2024. Lokasi Tailing Management Facility (TMF) perusahaan ini berada sangat dekat Sungai Aek Pahu yang mengaliri Desa Sumuran. Warga melaporkan bahwa sejak beroperasinya PIT Ramba Joring, air sungai kerap keruh saat musim hujan.

PLTA Batang Toru yang PT NSHE operasikan juga menyebabkan hilangnya lebih dari 350 hektare tutupan hutan di sepanjang 13 km daerah aliran sungai. Proyek ini menimbulkan fluktuasi debit sungai dan sedimentasi tinggi akibat pembuangan limbah galian terowongan serta pembangunan bendungan. Selain itu, terdapat potensi pencemaran apabila material galian mengandung unsur beracun.

“Video luapan Sungai Batang Toru di Jembatan Trikora yang memperlihatkan banyaknya gelondongan kayu diduga terkait dengan pembangunan infrastruktur PLTA tersebut,” ujar Rianda.

Sementara itu, PT Toba Pulp Lestari mengelola ratusan hingga ribuan hektare hutan di DAS Batang Toru. Lahan tersebut telah beralih fungsi menjadi Perkebunan Kayu Rakyat (PKR) yang ditanami eukaliptus. Terutama di Kecamatan Sipirok, Tapanuli Selatan.

Selain itu, pembukaan hutan melalui skema PHAT juga memicu banjir bandang. Koridor satwa penghubung Dolok Sibualbuali–Hutan Lindung Batang Toru Blok Barat tercatat telah terdegradasi sedikitnya 1.500 hektare dalam tiga tahun terakhir.

Desak Pemerintah Cabut Ekspansi Industri Ekstraktif

Dengan terjadinya bencana besar di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni membuka suara. Ia menyampaikan bela sungkawa duka mendalam terhadap bencana yang masyarakat hadapi di sana.

Ia mengatakan bahwa dirinya sudah menyampaikan kepada jajaran pimpinan di Kementerian Kehutanan untuk mengevaluasi, instropeksi terhadap pengelolaan hutan dan lingkungan hidup.

“Semua mata melihat, semua telinga mendengar, semua kita merasakan apa yang terjadi di daerah tiga provinsi itu. Satu sisi kami mengatakan duka yang mendalam, tapi ini juga momentum yang baik untuk kita melakukan evaluasi kebijakan karena pendulumnya kalau ekonomi dan ekologi tampaknya pendulumnya terlalu ke ekonomi dan harus ditarik ke tengah lagi,” tuturnya.

Sementara itu, Jatam mendesak pemerintah segera mencabut izin merusak dan menghentikan ekspansi industri ekstraktif di hulu DAS kritis. Pemerintah juga diminta untuk mengembalikan ruang kelola kepada masyarakat lokal dan adat yang terbukti paling berkepentingan menjaga hutan dan sungai.

Tanpa langkah politik yang berani, setiap rencana tambang, perluasan kebun, dan megaproyek energi akan terus meningkatkan tekanan ekologis Sumatra. Akibatnya, jumlah korban banjir dan longsor diperkirakan terus bertambah pada tahun-tahun mendatang.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top