Ekosistem Lahan Basah Terancam Industri Ekstraktif

Reading time: 3 menit
Perlu upaya serius merehabilitasi lahan basah. Hal ini untuk menekan emisi karbon dari aktivitas alih fungsi tersebut. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Keseriusan pemerintah untuk mengembalikan ekosistem lahan basah dipertanyakan. Hal ini menyusul masih banyaknya industri ekstraktif yang mengancam wilayah lahan basah di Indonesia.

Peringatan Hari Lahan Basah Sedunia (World Wetlands Day) yang jatuh pada 2 Februari 2022 hendaknya menjadi momentum pengembalian ekosistem sebagai penyeimbang ekosistem daratan dan perairan.

Peringatan yang berlangsung di Kota Ramsar, Iran sejak 2 Februari 1971 ini menjadi cikal bakal hadirnya perjanjian pengelolaan lahan basah. Dalam konvensi ini lahan basah mendapat definisi sebagai lahan yang selalu tergenang. Kondisi ini terjadi baik secara alami maupun buatan secara terus menerus maupun musiman, baik itu tawar, payau, maupun asin.

Manajer Kampanye Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Wahyu A Perdana menyatakan, alih fungsi lahan basah menjadi sektor industri ekstraktif atau tambang menjadi ancaman serius. Pasalnya, industri ini menyumbang emisi karbon yang cukup tinggi.

Adapun luas tambang di Indonesia mengacu pada tutupan lahan yaitu mencapai 11,1 juta hektare (ha). Kontribusi emisi dari alih lahan penguasaan tambang pada lahan basah mencapai 13,8 juta ton CO2-e (seluas 314.461 ha). Sedangkan emisi yang dihasilkan pada alih lahan mangrove mencapai 7,5 juta ton CO2-e (48.456 ha).

Ekspansi pertambangan sektor lahan basah bukan sekadar sebagai penyumbang emisi karbon. Namun, dalam konteks ekosistem esensial karena proses penumbuhannya lama, dapat memicu kenaikan karbon dalam perubahannya . “Karbon yang dihasilkan naik terpapar ke udara. Sehingga risikonya akan semakin tinggi,” katanya kepada Greeners, di Jakarta, Rabu (2/2).

Perlu Upaya Tegas Terhadap Industri Ekstraktif di Lahan Basah

Wahyu menilai, tak ada upaya keseriusan pemerintah dalam melakukan penegasan terhadap ancaman industri pertambangan. Utamanya, terkait soal kebijakan yang tak berpihak pada lingkungan.

“Misalnya, pada ekosistem lahan basah, termasuk gambut yang berada di kawasan hutan ada ketentuan minimal 30 %. Namun, pada saat yang sama batas minimum itu UU Cipta Kerja hapus,” papar Wahyu.

Padahal tujuan penetapan minimal 30 % pada UU Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang untuk menjaga kelestarian dan daya tampung dampak kegiatan ekonomi dan pembangunan di satu wilayah kabupaten/kota/ provinsi.

“Sehingga dengan berbagai alasan investasi dan pembangunan, kawasan hutan akan mudah menyusut karena batas minimal perlindungan sudah tak ada,” imbuhnya.

Wahyu mengungkapkan, sebagian besar wilayah Indonesia telah melampaui daya tampung dan daya dukungnya. Penting, lanjutnya untuk melakukan moratorium agar tak lagi ada pemberian izin konsesi lagi.

Sejatinya, lahan basah merupakan salah satu ekosistem produktif yang mampu mendukung kehidupan manusia. Kerusakan lahan basah imbas abrasi juga perlu penyelamatan melalui restorasi dan rehabilitasi mangrove.

Berdasarkan Peta Mangrove Nasional Tahun 2021, masih ada beberapa wilayah yang mengalami potensi abrasi. Misalnya, daerah Maluku yang mencapai 1.425 ha dan Nusa Tenggara Timur (NTT) 501 ha.

Dorong Pemerintah Daerah Ikut Merehabilitasi

Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dyah Murtiningsih menyatakan, pemerintah pusat terus mendorong pemerintah daerah provinsi, kabupaten kota untuk turut berkontribusi dalam upaya rehabilitasi mangrove.

“Utamanya mangrove yang berada di luar konservasi, kalau yang di dalam seperti hutan lindung, taman nasional itu bukan kawasan kita,” kata Dyah.

Pemerintah berkomitmen melakukan percepatan rehabilitasi mangrove hingga tahun 2024 mengacu Peraturan Presiden (Perpres) No 120 Tahun 2020 Tentang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM). Pemerintah menargetkan rehabilitasi mangrove nasional mencapai 630.000 ha di sembilan provinsi prioritas.

Sementara potensi habitat mangrove tahun 2021 yang telah diubah kurang lebih mencapai 756.183 ha. Adapun dari daerah yang terabrasi seluas 4.129 ha, mangrove lahan terbuka seluas 55.889 ha, mangrove terabrasi seluas 8200 ha, tambak seluas 631.802 ha, serta tanah timbul seluas 56.162 ha.

Pemerintah juga terus memperbaiki tata kelola sambil melakukan penyadaran dan edukasi kepada masyarakat terkait peran penting mangrove.”Masyarakat masih belum paham manfaat mangrove, misalnya mampu menahan abrasi, mengendalikan energi gelombang. Itu yang kita sadarkan ke mereka,” ucapnya.

Penulis : Ramadani Wahyu

Top