Jakarta (Greeners) – Selama lebih dari satu dekade, warga Dusun Kedungrong di Kulon Progo telah menikmati manfaat energi bersih dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMh). Aliran sungai kecil yang melewati dusun itu diubah menjadi sumber listrik ramah lingkungan sehingga membantu mengurangi ketergantungan warga pada listrik berbahan bakar batu bara.
Sejak dimanfaatkan pada 2009 dan beroperasi optimal pada 2012, mikrohidro menjadi penopang kebutuhan listrik harian sekaligus membantu usaha rumahan tetap berjalan. Warga kini mengelola energi tersebut secara mandiri. Salah satunya adalah Kistiyah (51), seorang ibu rumah tangga yang mengisi sebagian waktunya dengan menjahit. Sejak 2020, ia beralih ke mesin jahit listrik yang dayanya berasal dari mikrohidro.
Perubahan itu sangat berarti baginya. Sebelum ada listrik mikrohidro, ia menggunakan mesin jahit manual yang memakan banyak waktu dan tenaga. Kehadiran mikrohidro membuatnya yakin untuk membeli mesin jahit listrik karena tidak lagi khawatir dengan beban biaya listrik.
“Kalau pakai mesin jahit listrik jadi cepat dan nggak capek. Kalau manual itu lama sekali. Apalagi pas ada mikrohidro, jelas ngebantu banget, ya,” ujar Kistiyah di Kedungrong, Minggu (26/10).
Kini, Kistiyah tidak hanya memanfaatkan mikrohidro untuk mesin jahit. Kompresor, parut kelapa untuk pesanan kafe lokal, hingga sebagian lampu di rumahnya juga mendapatkan pasokan dari pembangkit ini.
Namun, di balik manfaat itu, ada tantangan yang masih harus ia hadapi. Kistiyah mengatakan bahwa listrik mikrohidro terkadang tidak stabil, dan mesin jahitnya bisa berhenti mendadak ketika tegangan turun. “Walau masih ada kendala, mikrohidro tetap punya banyak manfaat, karena bisa meringankan biaya listrik apalagi untuk mesin jahit,” tambahnya.
Warga Gotong Royong Rawat PLTMh
Mikrohidro tidak hanya membantu Kistiyah, tetapi juga banyak warga lain di Kedungrong. Lewat generator, aliran air menggerakkan turbin hingga menghasilkan listrik sekitar 18 kilowatt yang pengoperasiannya secara bergantian untuk memenuhi kebutuhan warga.
Pengelola PLTMh Kedungrong, Rejo Andoyo (55), menjelaskan bahwa saat ini terdapat 46 rumah yang aktif menggunakan PLTMh, dengan sekitar 80 persen kebutuhan listrik mereka dipasok dari pembangkit tersebut. Berkat inisiatif ini, warga tidak lagi sepenuhnya bergantung pada listrik PLN.
Baginya, kehadiran mikrohidro juga telah memberikan kenyamanan bagi kehidupan warga. Sebab, dusun ini menjadi salah satu wilayah yang sering padam listrik.
“Listrik dari PLTMh sangat membantu karena PLN sering mati, siang pun kadang mati lampu, apalagi di pegunungan. Jadi, mikrohidro sangat membantu. Kalau pakai ini, tagihan biaya listrik dari PLN juga sangat bisa berkurang,” kata Rejo.
Kini, Rejo bersama warga lainnya merawat PLTMh tersebut secara bergotong-royong. Mereka rutin membersihkan mesin dari sampah yang menyangkut, mengganti oli, hingga melakukan perawatan teknis lainnya. Untuk mendukung kebutuhan perawatan itu, setiap rumah hanya dikenakan iuran sebesar Rp12.000 setiap 35 hari.

Kistiyah (51) dan Supriyadi (45) memanfaatkan PLTMh sebagai sumber listrik untuk menjalankan usaha rumahan mereka. Foto: Dini Jembar Wardani
Mikrohidro Menopang Usaha Mebel
Tak jauh dari rumah Kistiyah, Supriyadi (45) sibuk menghaluskan papan di teras rumahnya. Sejak pandemi, tempat itulah yang berubah menjadi bengkel mebel kecil. Bau serbuk kayu dan suara mesin seolah menjadi bagian dari keseharian Supriyadi.
Saat pertama kali Supriyadi membangun usaha ini, ia hanya mengerjakan bentuk dasar mebel, pelanggan membawa bahannya, lalu ia membantu membuat rangkanya. Namun, setelah pandemi, usaha Supriyadi meningkat, kini ia menerima pesanan mebel yang siap pakai seperti lemari, kursi, meja, dan pintu.
Serupa dengan Kistiyah, kehadiran sumber listrik dari mikrohidro, Supriyadi tidak lagi khawatir biaya listriknya membengkak ketika menggunakan mesin pemotong kayu. Mesin tersebut juga membantu Supriyadi mengerjakan pekerjaannya lebih cepat dibandingkan dengan manual.
“Kalau pakai gergaji manual, biasanya bikin furnitur seperti kursi kurang lebih dua minggu. Kalau pakai mesin, seminggu juga selesai,” katanya.
Meskipun saat ini Supriyadi masih menggunakan PLN sebagai sumber listriknya, namun sebagian besar pekerjaan mebelnya bergantung pada PLTMh. Bahkan, ia termasuk warga pertama yang mendapatkan sambungan listrik dari PLTMh pada 2012. Meski sempat ragu pada awalnya, ia akhirnya percaya sepenuhnya pada energi dari sungai kecil itu dan hingga kini ia merasakan banyak manfaat untuk usaha mabelnya.
Ringankan Biaya Listrik
Manfaat energi bersih ini juga terhubung langsung dengan kehidupan sehari-hari warga. Di rumah Sri Hastuti Yuni Wahyuningsih (47) dan Toto Hardiyanta (55), PLTMh menjadi penopang yang membantu mereka mengatur pengeluaran dan menjalani pekerjaan rumah.
Mereka tidak mengandalkan PLTMh untuk seluruh peralatan. Beberapa alat seperti lampu, penanak nasi, pencacah daun, hingga alat ngelas sudah memanfaatkan listrik dari mikrohidro.
Toto merasakan perubahan besar sejak memakai PLTMh, terutama ketika harus menggunakan alat yang membutuhkan daya besar. “Untuk mengelas juga bisa. Saya sering bikin meja atau kaki meja, alatnya pakai listrik mikrohidro karena murah. Saya juga bikin penghangat anak ayam. Penghangatnya dulu pakai PLN, sekarang pakai mikrohidro,” katanya.
Sementara itu, bagi Yuni, beralihnya beberapa peralatan dapur ke mikrohidro ikut membantu menghemat pengeluaran. Uang yang biasanya ia alokasikan ke listrik kini bisa ia pakai untuk kebutuhan lainnya.
“Tentu jadi lebih irit, ya. Sebagian uang yang biasanya buat bayar listrik jadi bisa buat beli kebutuhan dapur,” ujar Yuni.
Namun, saat PLTMh berhenti sementara untuk pembersihan, mereka harus kembali membayar listrik yang lebih besar ke PLN, yaitu berkisar Rp300.000. “ Waktu itu ada program pembersihan selokan, pernah kena pembangunan juga beberapa bulan sehingga kami pakai listriknya full dari PLN,” ucapnya.
Dari berbagai cerita warga Kedungrong, baik pada skala rumah tangga maupun usaha rumahan, penggunaan PLTMh masih menghadapi sejumlah tantangan, terutama terkait kestabilan listrik. Meski demikian, mereka berharap ada perbaikan ke depannya agar pasokan listrik semakin stabil. Meski begitu, bagi warga, PLTMh tetap menjadi sebuah keberkahan bagi kehidupan mereka.
PLTMh Kedungrong Cermin Energi Bersih Berkeadilan
Melihat lebih dari satu dekade PLTMh Kedungrong beroperasi, Manajer Program Energi Terbarukan Trend Asia, Beyrra Triasdian menilai bahwa PLTMh seperti di Kedungrong adalah bentuk energi bersih yang paling berkeadilan. Sebab, air yang digunakan hanya sebagian kecil sehingga ekosistem sungai tetap terjaga.
“Dari sudut pandang keadilan, mengambil badan sungai secara penuh itu nggak adil, karena pasti merusak ekosistem di hulu dan hilir. Di Amerika dan Kanada belakangan ini ada beberapa Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) besar yang dihancurkan. Setelah bendungannya dibuka, beberapa spesies yang dianggap punah ternyata muncul kembali,” katanya.
Beyrra menyebut contoh ekstrem seperti peristiwa PLTA Jatigede yang menenggelamkan dusun, menghilangkan jejak masyarakat adat, dan memiskinkan banyak petani. Padahal, menurutnya banyak teknologi kecil seperti mikrohidro dan pikohidro yang jauh lebih ramah lingkungan, terutama bagi daerah terpencil. Namun, tantangan penggunaan teknologi ini perlu biaya awal yang tinggi, sehingga banyak pihak lebih memilih membangun PLTA besar.
Keberhasilan penggunaan mikrohidro di Kedungrong telah menyadarkan kita semua bahwa transisi energi bisa diciptakan secara berkeadilan. Energi bersih tidak harus dimulai dari proyek besar yang rumit.
Ia bisa tumbuh dari inisiatif warga, dikelola secara mandiri, dan dirawat bersama tanpa menimbulkan konflik. Hal ini membuktikan bahwa beralih dari listrik berbahan bakar batu bara ke energi terbarukan, bisa dimulai dari potensi kecil yang ada di setiap daerah dan mampu dikelola oleh komunitas kecil.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia












































