Jakarta (Greeners) – Greenpeace Asia Tenggara mengangkat kampanye #SaveRajaAmpat dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Nadi, Fiji, pada Agustus lalu. Dalam pertemuan ini, Greenpeace menyoroti pentingnya tata kelola mineral yang adil dan berkelanjutan. Terutama nikel, sebagai bagian dari transisi energi global.
Badan PBB untuk Lingkungan Hidup (UNEP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Perubahan Iklim Fiji bertindak sebagai penyelenggara forum. Forum ini mempertemukan para menteri dan pemangku kebijakan di Asia Pasifik untuk membahas isu lingkungan dan krisis iklim. Hasil diskusi akan mereka bawa ke Majelis Lingkungan Hidup PBB (UNEA) di Kenya, Desember mendatang.
Greenpeace menegaskan perlunya panduan internasional yang mengatur ketat kewajiban perlindungan lingkungan dan hak asasi manusia (HAM) dalam rantai pasok mineral. Kebutuhan mineral seperti nikel, kobalt, dan lithium terus meningkat seiring transisi energi. Namun, sering kali menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat.
Senior Regional Campaign Strategist untuk Greenpeace Asia Tenggara, Rayhan Dudayev mengatakan bahwa transisi energi kini kerap jadi dalih untuk menjustifikasi pertambangan mineral yang dilabeli ‘kritis’. Dalam praktiknya telah mengabaikan dampak-dampak lingkungan dan sosial.
“Misalnya, seiring dengan masifnya tambang nikel di negara-negara Selatan seperti Indonesia, kawasan kaya keanekaragaman hayati seperti Raja Ampat terancam rusak,” ujar Rayhan.
Melalui kampanye #SaveRajaAmpat, Greenpeace mengungkap kerusakan akibat tambang nikel. Mulai dari deforestasi, sedimentasi, polusi laut, hingga perusakan habitat dan pelanggaran hak masyarakat adat Papua.
Pemerintah Indonesia sempat mengumumkan pencabutan empat dari lima izin tambang di Raja Ampat pada Juni lalu. Namun, belum ada keputusan resmi tertulis. Greenpeace mendesak perlindungan penuh dan permanen bagi lingkungan serta hak masyarakat adat dari tekanan industri ekstraktif.
Atur Tata Kelola Mineral
Juru Kampanye Greenpeace Asia Tenggara di Malaysia, Dunxin Weng juga mengungkapkan bahwa UNEA harus menghasilkan resolusi yang mengatur tata kelola mineral secara adil dan berkelanjutan. Dalam hal ini perlindungan hak asasi manusia dan padiatapa (persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan atau FPIC) dari masyarakat adat dan komunitas lokal wajib dilakukan.
“Kami juga mendesak negara-negara anggota untuk menetapkan kawasan-kawasan tertentu yang rentan dan punya nilai kultural, seperti wilayah masyarakat adat dan situs warisan dunia UNESCO, bebas dari aktivitas pertambangan mineral,” kata Dunxin.
Sementara itu, laporan UNESCO menemukan adanya tumpang tindih konsesi tambang minyak, gas, dan mineral dengan kawasan situs warisan dunia. Merujuk laporan itu, sekitar sepertiga situs warisan dunia juga dibebani izin-izin tambang. Di kawasan Asia Pasifik, angkanya bahkan lebih tinggi, yakni 42 persen. Sebanyak 35 dari 84 situs warisan dunia di wilayah ini tumpang tindih dengan izin-izin ekstraktif.
Tekanan untuk Gencatan Senjata
Dalam forum tersebut, Greenpeace Asia Tenggara juga mendesak agar dampak invasi militer dan konflik bersenjata terhadap lingkungan hidup dibahas dalam pertemuan UNEA di Kenya akhir tahun ini. Mereka menekankan pentingnya integrasi antara tekanan untuk gencatan senjata dan perdamaian dengan upaya pemulihan lingkungan. Hal ini krusial untuk membangun ketahanan bagi negara dan masyarakat yang menjadi korban serangan militer.
Rayhan mengatakan, konflik bersenjata terjadi di banyak tempat di dunia. Genosida di Gaza, misalnya, telah menghancurkan ekosistem dan melanggar hak asasi atas lingkungan hidup yang sehat. Hal ini kian parah dengan bungkamnya komunitas internasional, yang sebenarnya punya kekuatan untuk menghentukan kekejaman Israel.
Ia menegaskan bahwa forum ini harus mengingat kembali kajian awal yang UNEP luncurkan pada Juni 2024. Laporan tersebut menyatakan bahwa serangan militer Israel ke Gaza telah menimbulkan dampak-dampak ekologis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
“Masyarakat Gaza menghadapi risiko meningkatnya kerusakan tanah, air, dan polusi udara, serta kerusakan ekosistem yang tak bisa pulih. Semua itu memperburuk penderitaan yang mereka tanggung akibat operasi militer Israel,” tambah Rayhan.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































