Usai Kebakaran Depo Plumpang, Relokasi Warga dari Zona Bahaya

Reading time: 2 menit
Penampakan kebakaran yang mengancurkan permukiman penduduk. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Kebakaran yang terjadi di depo milik PT Pertamina di Plumpang, Jakarta Utara pada Jumat malam (3/3) sekitar 20.11 WIB telah memakan korban. Data terbaru, kebakaran ini telah menewaskan 19 orang, 49 orang lainnya luka-luka dan 3 orang dinyatakan hilang.

Sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta melaporkan jumlah pengungsi hingga saat ini tercatat sebanyak 708 jiwa.

Presiden Joko Widodo telah memerintahkan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir serta Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono untuk segera mengambil keputusan sebagai solusi untuk kebakaran depo Pertamina di Plumpang ini.

“Saya sudah perintahkan Menteri BUMN dan Gubernur DKI segera mencari solusi dari kejadian di Plumpang, terutama karena ini zona yang bahaya. Tidak bisa ditinggali, tetapi harus ada solusinya,” katanya saat meninjau salah satu posko korban kebakaran di RPTA Rasela Rawabadak Selatan, Koja, Jakarta Utara, Minggu (5/3).

Ia menyebut, beberapa kemungkinan solusi seperti area depo yang harus digeser ke reklamasi atau penduduknya yang digeser ke relokasi.

Presiden Jokowi menilai pemukiman penduduk di sekitar Depo PT Pertamina di Plumpang tersebut termasuk kategori berbahaya. Oleh karena itu, ia memerintahkan Menteri BUMN untuk mengevaluasi dan mengaudit lokasi-lokasi Depo Pertamina yang menyimpan bahan bakar.

Keberadaan Depo Pancing Kedatangan Masyarakat 

Merespon hal itu, Pengamat Tata Kota Universitas Trisakti Nirwono Joga mengatakan, pembangunan Depo Pertamina Plumpang yang berjarak 5 kilometer dari Pelabuhan Tanjung Priok sejatinya sudah sesuai dengan Rencana Induk Djakarta tahun 1965-1985.

Kala itu, di sekitarnya masih berupa tanah kosong dan rawa atau (Rawa Badak). “Dalam Rencana Umum Tata Ruang DKI Jakarta 1985-2005 pun keberadaan Depo Plumpang masih sebagai fasilitas penting nasional,” katanya kepada Greeners, Senin (6/3).

Keberadaan depo berskala besar ini memancing kedatangan para pekerja dan pendukung kebutuhan pekerja seperti warung makan, tempat tinggal sementara, hingga pasar. Perlahan tapi pasti, mereka membentuk permukiman, baik legal maupun ilegal terutama pada periode tahun 1985-1998 dan 2000-sekarang.

“Pelanggaran mulai terjadi ketika pengendalian dan penertiban pemanfaatan ruang di sekitar depo terus Pemerintah DKI Jakarta biarkan. Dan justru pemerintah legalkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW DKI Jakarta 2000-2010 dan RTRW DKI Jakarta 2010-2030,” jelas Nirwono.

Presiden Joko Widodo bersama sejumlah menteri meninjau lokasi pengungsi korban terdampak kebakaran Depo Plumpang. Foto: BNPB

Tata Ulang dan Relokasi 

Ia menyatakan, pentingnya menata ulang kawasan Depo Plumpang sebagai obyek penting nasional yang harus negara lindungi.

“Permukiman padat yang notabene melanggar tata ruang harus kita tertibkan. Seperti penetapan jarak aman ideal obyek penting tersebut dan membenahi permukiman padat menjadi kawasan hunian vertikal terpadu,” jelas dia.

Demi keamanan dan keselamatan warga maka seharusnya tidak ada alasan penolakan penataan ulang kawasan depo yang sejak dulu sudah direncanakan.

Senada dengannya, pakar Teknik Lingkungan dari Universitas Indonesia Firdaus Ali mengatakan, pemerintah perlu segera memastikan rencana penataan ulang kawasan depo. Selain memastikan keamanan masyarakat sekitar, juga mengantisipasi agar tak ada dampak pencemaran lingkungan.

“Seperti polusi selama kebakaran depo terjadi dalam durasi yang lama ini akan berdampak pada masyarakat sekitar. Belum lagi bensin bocor hingga mencemari lingkungan,” imbuhnya.

Ia menekankan agar pemerintah menetapkan jarak aman minimal 500 meter atau lebih. Ini sesuai dengan kajian kemanan dan keselamatan jika ledakan atau kebakaran terjadi.

Penulis: Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top