Daun yang Mengangguk Terbisik Angin
Angin adalah udara yang bertiup karena perbedaan tekanan udara. Karena udara adalah salah satu elemen utama di bumi, jumlahnya yang sangat berlimpah membuat hembusan udara ini sebenarnya dapat menjadi jawaban dari krisis energi yang dialami. Pemanfaatan angin sebagai sumber energi sebenarnya telah berlangsung lama. Bangsa Eropa sejak lama menggunakan kincir angin untuk menggiling gandum dan mengangkat air dari dataran rendah ke lahan yang lebih tinggi dari sungai. Sementara bangsa Cina telah mulai membudidayakan kincir angin di gurun-gurun yang mereka miliki.
Cara untuk memanfaatkan angin menjadi sumber energi sebenarnya cukup sederhana. Secara umum, kincir angin berfungsi untuk mengkonversi tiupan angin menjadi daya penggerak motor, yang selanjutnya diubah menjadi energi listrik.
Seperti yang pernah ditulis oleh Harian Umum Pikiran Rakyat edisi 9 April 2007, potensi listrik tenaga angin di Indonesia cukup besar. Secara keseluruhan Indonesia memiliki 9,29 Giga Watt (GW). Padahal yang selama ini sudah termanfaatkan hanya sebesar 0,0005 GW.
Saat ini, biaya yang harus dikeluarkan untuk pembangunan satu unit kincir angin memang masih tergolong mahal, yaitu sekitar 60 juta rupiah. Tengok pengalaman Yayasan Heritage di Indramayu, yang sejak empat tahun lalu mulai memanfaatkan energi angin untuk pembangkit listrik. Pada awalnya, proyek ini memang memakan biaya yang lumayan besar. Namun dalam prosesnya, efisiensi mulai dirasakan ketika biaya yang dikeluarkan hanyalah biaya untuk maintenance saja.
Meski merupakan temuan yang menyegarkan, kincir angin pun memiliki beberapa kekurangan. Salah satu diantaranya adalah tingkat kemungkinan korosi yang sangat tinggi bila dipasang di daerah lembab. Hal ini dapat membuat komponen kincir menjadi cepat rusak. Ada pula kincir yang rusak karena faktor ketidakmampuan atau ketidakdisiplinan operator dan pengguna yang melanggar ketentuan dalam melaksanakan prosedur pengoperasian.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia sebenarnya memiliki sumber tenaga angin yang sangat berlimpah dan harus dikembangkan lebih lanjut. Pasalnya masih banyak daerah pesisir yang seakan teranak-tirikan karena tidak mendapat pasokan listrik dari pusat. Dengan membangun pembangkit listrik tenaga angin, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Pembangunan pembangkit listrik tenaga angin di pulau-pulau kecil akan mendrorong pertumbuhan kegiatan ekonomi. Sedangkan di daerah lain, akan dapat menjadi jawaban dari krisis energi saat ini.
Segalanya ”emas” dibawah sinar mentari
Sinar matahari adalah anugerah yang tak ternilai bagi seluruh penghuni bumi. Sinar matahari berlaku sebagai ”nyawa” dari sumber energi lain yang terdapat di bumi. Contoh pemanfaatan energi paling canggih sekaligus paling tua di bumi adalah penyimpanan energi matahari di dalam biomassa. Seperti yang kita tahu, elemen-elemen pengikat karbon, seperti tanaman dan tumbuhan, menangkap energi matahari melalui proses fotosintesis, lalu menyimpannya kedalam ikatan kimia untuk diubah ke berbagai bentuk energi untuk menjalankan berbagai fungsi kehidupan. Dan seiring berjalannya waktu, manusia mulai menciptakan teknologinya sendiri untuk dapat menyimpan dan mengubah bentuk energi matahari untuk menjalankan roda kehidupan mereka.
Bagi negara tropis seperti Indonesia, matahari bersinar selama kurang lebih dua belas jam. Waktu yang lama dan jumlah yang berlimpah ini seharusnya dapat dimanfaatkan agar kita dapat terhindar dari berbagai permasalahan yang kerap menimpa negeri ini. Setidaknya dalam ranah energi matahari, kita tak akan mengenal kata ”krisis”.
Pemanfaatan tenaga surya berasal dari radiasi matahari. Pada dasarnya ada dua jenis cara untuk memanfaatkan radiasi matahari, yaitu termal dan photovoltaic.
Pada sistem termal, radiasi matahari digunakan untuk memanaskan fluida atau zat tertentu. Selanjutnya fluida tersebut dimanfaatkan untuk membangkitkan listrik. Sedangkan pada sistem photovoltaic, radiasi matahari yang mengenai permukaan semi konduktor akan menyebabkan loncatan elektron yang selanjutnya menimbulkan arus listrik. Karena tidak memerlukan instalasi yang rumit, maka sistem ke dua yang banyak digunakan.
Sistem photovoltaic sebenarnya sudah mulai dikenal dan diteliti sejak dulu. Penelitian dilakukan oleh seorang fisikawan Alexandre-Edmond Becquerel. Pada 1839, Ia menemukan efek photovoltaic pada matahari yang mampu mengubah cahaya matahari menjadi listrik, yang pada akhirnya dapat menelurkan sel surya.
Sebagai negara tropis, lagi-lagi Indonesia diuntungkan dengan intensitas radiasi matahari yang hampir sama sepanjang tahun. Intensitas rata-rata per harinya adalah sebesar 4,8 kWh/m2. Meski demikian, pemanfaatan energi surya masih terhadang dua kendala serius, yaitu rendahnya efisiensi dan mahalnya biaya per satuan listrik. Untuk pembangkit listrik dari photovoltaic, diperlukan biaya US $ 0.25 – 0.5 / kWh. Bandingkan dengan tenaga angin yang memerlukan biaya sebesar US $ 0.05 – 0.07 / kWh, gas US $ 0.025 – 0.05 / kWh, dan batu bara US $ 0.01 – 0.025 / kWh. Bagaimana pun, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) telah banyak diterapkan di berbagai negara maju dan terus mendapatkan perhatian serius dari kalangan ilmuwan untuk meminimalisir kekurangan yang ada.
Berhubungan dengan masalah ”krisis energi”, matahari semakin dilirik banyak pihak sebagai energi yang dapat menggantikan hegemoni minyak bumi dan batu bara. Berdasarkan Seketika.com, pada tahun 2006 pemerintah Indonesia telah membangun sebanyak 15.000 unit PLTS di bagian timur Indonesia. Menurut Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Yogo Pratomo, pembangunan berdaya kecil tersebut merupakan salah satu upaya pemerintah memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia bagian timur yang masih tertinggal dari bagian barat. Tiap unit PLTS itu akan berdaya 100 watt dan diharapkan dapat mencukupi kebutuhan listrik di daerah terpencil dan pelosok.
Contoh kreatif dari pemanfaatan energi surya dapat dilihat pada proyek Pemerintah Kota (Pemkot) Daerah Istimewa Yogyakarta yang bekerja sama dengan Pusat Studi Energi (PSE) Universitas Gadjah Mada (UGM). Menurut Media Indonesia online, Pemkot dan PSE telah membuat terobosan baru dengan menerapkan tenaga surya untuk menghidupi empat titik lampu lalu lintas. Penerapan tersebut secara resmi mulai berlaku sejak 3 Februari 2006.
Untuk tahap tersebut, PSE UGM telah membangun empat belas panel surya, dan instrumentasi yang didesain oleh UGM. Setiap harinya, keempat belas panel tersebut dapat menghasilkan tenaga listrik sebesar 1.500 watt, sedangkan, daya yang dibutuhkan oleh empat titik lampu lalu lintas adalah sebesar 960 watt. Hasilnya, panel yang terpasang dapat menyediakan suplai listrik untuk sepuluh hari tanpa pengisian. Dengan demikian, jika cuaca sedang buruk, dan awan menghalangi sinar matahari untuk waktu yang lama pun, lampu lalu lintas dapat tetap berjalan.
Jika pada akhirnya semua sumber listrik kita berasal dari tenaga matahari yang jelas-jelas tidak akan habis, maka impian akan masa depan yang cerah mungkin dapat terealisasi. Lagipula, pemanfaatannya tidak menimbulkan kerusakan lingkungan seperti yang dilakukan oleh sumber-sumber energi konvensional.












































