Habis Energi Konvensional, Terbitlah Energi Terperbarukan

Reading time: 16 menit

Pada dasarnya, konsumsi energi fosil bumi adalah kebiasaan yang kotor. Mulai dari proses produksi sampai ke emisi yang dihasilkannya.
Bagi Indonesia, Negeri yang dianugerahi sumber kekayaan alam dan energi yang sangat melimpah, jalan keluar dari krisis energi fosil sebenarnya ada pada kekayaan alamnya sendiri. Semua berpulang kepada kreatifitas kita sendiri untuk dapat memanfaatkannya dengan baik, hingga dampak positifnya dapat dirasakan oleh segenap masyarakat Indonesia.

Artikel ini diterbitkan pada edisi 04 Vol. 2 Tahun 2007

 

Ketika kita mendengar kata “energi” seharusnya terbayang suatu daya yang dapat membuat kita lebih
bergairah dalam menjalani hidup. Namun sebaliknya, rasa was-was malah muncul mendahuluinya. Entahlah, tapi lihatlah ke sekeliling kita, kebutuhan yang kian mendesak terus diiringi oleh harga yang kian melangit. Udara kian kotor dan cuaca semakin tak nyaman. Apakah Anda juga merasakannya? Apa yang harus kita perbuat?

Pertumbuhan populasi berimbas pada peningkatan kegiatan ekonomi, secara tidak langsung hal ini berimbas kepada peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan manusia. Akibatnya, manusia menjadi mahluk yang semakin rakus dalam konsumsi sumber-sumber energi yang persediannya justru semakin menipis. Betapa tidak? Ketika aktifitas kian meningkat maka kebutuhan akan energi adalah sami mawon. Namun ironisnya sementara peningkatan aktifitas memiliki potensi tak berbatas, ketersediaan energi yang menunjangnya malah berada pada titik yang kian mencemaskan.

Di berbagai belahan nusantara, berita mengenai krisis dalam berbagai dimensi kehidupan seakan telah menjadi santapan sehari-hari. Pemandangan antrian orang-orang berwajah lelah dan lapar, sambil menenteng jerigen pada kedua tangannya, berharap untuk segera mendapatkan minyak tanah yang mereka butuhkan untuk “mengasapi” dapur, adalah pemandangan yang lazim. Entah berapa lama waktu yang telah mereka habiskan dalam antrian panjang tersebut. Dan untuk menambah catatan penderitaan mereka, kalaupun mereka berhasil mendapatkan minyak tanah, mereka akan mendapatkannya dengan harga yang jauh diatas rata-rata. Ironisnya lagi, setelah sampai dapur mereka tak tahu apa yang dapat mereka “asapi”. Seringkali mereka termenung, entah meratap, entah berharap. Mereka hanya ingin kondisi seperti ini akan segera berlalu. Mereka tak tahu harus bagaimana. Sementara yang tahu, adakah mereka peduli?

Yang tahu, sebenarnya ikut terkena imbasnya juga. Harga bahan bakar kendaraan bermotor yang kian melambung (dan hampir selalu menghilang dari peredaran setiap kenaikan harga terjadi), tarif dasar listrik yang semakin meninggi, dan harga barang-barang keperluan sehari-hari yang semakin mahal adalah bukti nyata. Namun disini kita dapat melihat ketimpangan yang sangat mencolok: sementara sebagian orang tak mampu mencukupi kebutuhan primer mereka, seperti makanan, pakaian, dan hunian, sebagian lagi justru menghabiskan uang mereka untuk pemenuhan hal-hal yang sifatnya tersier. Selama dapur mereka dapat mengepul lancar, agaknya mereka tak akan peduli. Prihatin saja sudah bagus.

Krisis energi menerjang tanpa pandang bulu, ini adalah sebuah krisis global. Terutama bagi masyarakat umum; krisis energi dapat diartikan sebagai kabar buruk yang kian memberatkan beban kehidupan mereka. Ketika pemerintah menaikan harga BBM sebagai konsekuensi dari harga minyak mentah dunia yang terus meroket, misalnya, kita juga harus bersiap-siap dengan kenaikan harga-harga kebutuhan dasar yang lain.

Kestabilan harga energi konvensional selalu dipengaruhi oleh peta ketersediaan sumber energi tersebut dalam skala global. Pembangunan ekonomi yang membabi buta selalu memberikan tekanan yang amat besar terhadap lingkungan. Untuk menjamin pembangunan ekonomi yang berkesinambungan, maka dibutuhkan penerapan gaya hidup yang bisa mendukungnya: konsumeris.

Sungguh ironis, ketika kita mulai dibayangi oleh kepunahan energi, hasrat kita untuk mengonsumsi malah semakin meningkat. Pemerintah memang telah mempropagandakan gaya hidup hemat energi. Terutama setelah harga minyak dunia melonjak ke harga 60 USD (bahkan sempat mencapai 70 USD pasca badai katrina di teluk New Meksiko); pemerintah berteriak “kencangkan ikat pinggang”, jantung rakyat berdetak kencang. Namun yang terjadi adalah tingkat penjualan kendaraan pribadi yang semakin tinggi, dan gairah untuk terus mengonsumsi yang semakin berkobar.

Sebuah paradox terjadi ketika daya beli masyarakat cenderung menanjak, peningkatan angka kemiskinan juga tak kalah lonjakannya, atau dengan kata lain, semakin banyak kita mengonsumsi semakin miskinlah kita. Rasanya, tak akan habis rasa heran kita terhadap tingkah polah bangsa kita ini yang gemar menggembosi kekayaanya sendiri demi gaya hidup konsumtif yang tak jelas. Sementara untuk hal-hal yang bersifat produktif atau dapat berguna di kemudian hari, seperti pendidikan,. pelestarian lingkungan, dan investasi pada sumber energi terperbarukan misalnya, adakah yang mau “berhura-hura”?

Top