Karst Maros Pangkep Menyimpan 75% Gambar Cadas Indonesia

Reading time: 2 menit
Karst Maros Pangkep menyimpan 75% gambar cadas Indonesia. Foto: BRIN
Karst Maros Pangkep menyimpan 75% gambar cadas Indonesia. Foto: BRIN

Jakarta (Greeners) – Periset Pusat Riset Arkeometri BRIN, Adhi Agus Oktaviana mengungkapkan bukti baru dari hasil penelitian arkeologi di Kawasan karst Maros-Pangkep, Sulawesi Selatan, yang memiliki gambar cadas paling banyak. Menurutnya, Kawasan Karst Maros mengandung 75 persen jumlah gambar cadas yang ditemukan di Indonesia.

“Kawasan ini paling beragam dan kompleks dalam memahami banyak segi kehidupan manusia prasejarah dan transformasinya. Terutama, seni purba yang menjadi gambar visual sejarah seni dan pengetahuan umat manusia,” ungkap Adhi di Maros, Sabtu (5/7). 

Ia menyampaikan, di Leang Karampuang terdapat gambar cap tangan, babi besar, babi beranak, babi kecil, dan kepala anoa. Temuan yang menarik adalah gambar kumpulan babi-rusa berumur 51.200 sebelum sekarang.

BACA JUGA: BRIN dan Google Arts Luncurkan Platform Gambar Cadas Prasejarah Indonesia

“Ada pola-pola khusus gambar cadas di Sulawesi Selatan, yaitu gambar-gambar tangan jari runcing. Gambar dengan pola tersebut tidak hanya ada di Maros Pangkep, tetapi tersebar hingga ke Sulawesi tenggara. Sebaran penemuan gambar yang sejenis jari tangan runcing dapat menunjukkan adanya pola migrasi,” terangnya. ‘

Temuan dari Situs Maros Jadi Ensiklopedia Pengetahuan

Secara substantif, Kepala Pusat Riset Arkeologi Sejarah dan Prasejarah (PR APS) BRIN, Muhammad Irfan Mahmud menjelaskan lukisan temuan dari situs Maros Pangkep adalah ensiklopedi pengetahuan.

“Semua lukisan merupakan sebuah ensiklopedi sejarah yang berisi pengetahuan dari orang-orang terdahulu. Contohnya berupa pola gambar situs gua, sebagai pengetahuan ensiklopedi. Jangan menganggap orang prasejarah itu hanya duduk di gua dan hidup sekadar mencari makan sekedar konsumsi. Mereka secara kodrati juga sudah ada proses berfikir mulai dalam taraf sederhana,” kata Irfan.

Ia menyampaikan, melalui studi kasus situs Leang Tianang di Maros, gambar flora dan fauna pada situs merupakan bio-indikator yang memiliki nilai bagi ekologi. Visualisasi motif flora dan fauna pada situs tidak hanya sebagai gambaran mitos, tetapi mengandung pengetahuan ekologi secara simbolik.

BACA JUGA: Nautilus, Chepalopoda Bercangkang yang Bertahan dari Zaman Purba

“Visualisasi motif gambar merefleksikan kosmologi dunia bawah, yaitu fauna air. Perahu menggambarkan dunia manusia, lalu ada nipah sebagai dunia atas (ruh) di mana orang Bugis menyebutnya tori langit. Nipah bagi penduduk pesisir merupakan simbol dari langit batas kosmografi, sedangkan tunas nipah menggambarkan lambang pertumbuhan, kesuburan, dan kelahiran kembali,” pungkasnya.

Temuan Kerangka Manusia 7.400 Tahun

Sementara itu, peneliti PR APS BRIN, Hasanuddin mengungkap makna dari temuan arkeologi pada gua karst di Kawasan Maros. Satu temuan yang menarik dari para peneliti sebelumnya yaitu adanya kerangka manusia berusia 7.400 tahun di Maros.

Hasanuddin menjelaskan terdapat sekitar 28 gua atau ceruk di Kawasan Mallawa, Maros, yang telah diteliti dan terindikasi sebagai gua hunian. Gua tertua diperkirakan dihuni sejak 10.000 tahun yang lalu.

“Pada penelitian tahun 2021 ditemukan kerangka manusia berusia sekitar 7.400 tahun, para ahli menyebut kelompok ini sebagai Toalean,” ungkapnya.

Menurutnya, temuan ini menginspirasi dan memperkaya pengetahuan tentang masa prasejarah. “Terjadi interaksi di Mallawa antara kelompok manusia Toalean dan Austronesia melalui proses adaptasi bertahap,” tambahnya.

“Kawasan Mallawa potensial untuk membahas dinamika kehidupan manusia prasejarah di kawasan Indonesia timur maupun wilayah Wallacea secara umum”, tambah Hasanuddin.

Ia menyatakan Kawasan Mallawa menunjukkan kesinambungan hunian sejak akhir zaman pleistosen hingga periode neolitik akhir dan paleometalik. “Ini terbukti melalui temuan stratigrafi, analisis DNA, dan artefak pada rentang waktu sekitar 7.400 hingga 3.600 tahun sebelum tahun 1950,” sebutnya

Hasanuddin menjelaskan interaksi tercermin dari artefak dalam satu konteks stratigrafis, seperti Maros Point, mikrolit, gerabah berlapis slip merah, dan beliung. “Fleksibilitas ekologis yang berkelanjutan terlihat dari pola pemanfaatan ruang hunian di dalam gua maupun di situs terbuka, pola konsumsi, serta praktik penguburan,” jelas Hasanuddin.

Ia menyatakan transformasi budaya yang berlangsung dinamis terlihat dari keseluruhan temuan di Mallawa, Maros.

“Temuan-temuan tersebut menjadikan wilayah ini sangat penting dalam memahami sejarah prasejarah di Sulawesi Selatan dan kawasan Wallacea,” pungkasnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top