Menyelamatkan Orangutan Tapanuli di tengah Pembangunan PLTA Batang Toru

Reading time: 2 menit
orangutan Tapanuli
Balai Besar KSDA Sumatera Utara bersama KPH XI, YEL, Scorpion, OIC dan masyarakat Dusun Lobu Pining mengevakuasi satu individu orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), Rabu, 13 November 2019. Foto Balai Besar KSDA Sumatera Utara

Medan (Greeners) – Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air Batang Toru yang dibangun oleh PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE) masih menuai pro dan kontra. Pembangunan tersebut akan berdampak terhadap habitat orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis). Studi Universitas Nasional Jakarta mencatat habitat orangutan di seluruh area PLTA seluas 1.812 hektar.

“Kepadatan orangutan di area PLTA Batang Toru sekitar 0,32 individu per km2 atau setara dengan 6 orangutan,” ujar Didik Prasetyo Peneliti Orangutan Universitas Nasional pada Paparan Scientific Report di Workshop Collaboration on The Conservation of The Tapanuli Orangutan, di Medan, Rabu, (19/02/2020).

Didik mengatakan habitat potensial untuk orangutan di wilayah proyek umumnya ditemukan di kelas hutan dengan kepadatan menengah. Selama kegiatan konstruksi pada 2019, sebanyak 371,68 hektar atau 20,5 persen habitat orangutan diubah menjadi kegiatan proyek. Habitat seluas 86,47 hektar hilang dalam area konstruksi permanen dan 285,21 hektar berada di area konstruksi sementara.

Baca juga: Orangutan Tapanuli Dipublikasikan di Jurnal Internasional

Dengan program restorasi dalam area konstruksi sementara dan skenario offset untuk area yang tidak dapat dipulihkan seperti konstruksi permanen, habitat orangutan dapat diperluas. Rencana pengelolaan harus dikembangkan dengan melibatkan sebanyak mungkin pihak yang berkepentingan secara khusus dengan para pemangku lingkungan.

Direktur Konservasi PanEco Foundation, Ian Singleton justru menilai dampak pembangunan PLTA Batang Toru terhadap orangutan Tapanuli secara luas tidak terlalu besar dan sebagian besar lahan yang akan atau sudah dibuka dapat direstorasikan. Menurutnya PT NSHE harus benar-benar mengimplementasikan rencana mitigasi sehingga bisa meminimalisir ancaman habitat orangutan Tapanuli.

Orangutan Tapanuli

Emmy Hafild, Senior Technical Advisor NSHE (ketiga dari kiri) dan para peneliti dalam acara Paparan Scientific Report di Workshop Collaboration on The Conservation of The Tapanuli Orangutan, di Medan, Rabu, (19/02/2020). Foto: www.greeners.co/Dewi Purningsih

“Salah satu cara mitigasinya adalah dengan merestorasi lahan yang rusak permanen akibat pembangunan proyek tersebut, yang diperkirakan mencapai 86 hektare. Penting sekali memikirkan bagaimana orangutan Tapanuli bisa menyebrang dari blok barat maupun blok timur,”ujar Ian.

Berdasarkan Strategi Rencana Aksi Konservasi Orangutan 2019, luas habitat orangutan di ekosistem Batang Toru mencapai 105 ribu ha. Dari 2011-2018 rata-rata habitat yang hilang di ekosistem Batang Toru mencapai 200 ha per tahun.

Namun, Ian mengatakan ancaman terhadap orangutan lebih dikhawatirkan datang dari luar kawasan yang dipakai oleh PT NSHE. Karena di kawasan Batang Toru banyak pembukaan lahan seperti Areal Penggunaan Lain (APL), wanatani (agroforestry), kelapa sawit, pertanian, dan pertambangan.

Baca juga: Pengamat Temukan Anak Orangutan Tapanuli Kembar

“Kami lebih concern di wilayah-wilayah luar. Kalau PT NSHE bisa benar-benar mengimplementasikan semua program mitigasi, saya tidak khawatir ancaman orangutan di PLTA Batang Toru. Tapi lebih khawatir di luar wilayahnya karena banyak sekali lahan dan aktivitas yang mengancam orangutan Tapanuli,” ujar Ian.

Di kawasan Batang Toru setidaknya terdapat tujuh perusahaan di antaranya sektor pertanian milik PT Perkebunan Nusantara III dan PT. Kultindo Ereshamas, sektor pembangkit daya listrik oleh PT North Sumatera Hydro Energy (NSHE), PT. PLN (Sipansiaporas) dan PT. Sarulla Operation Limited. Sektor logging PT Toba Pulp Lestari, serta sektor pertambangan PT Agincourt Resources.

Emmy Hafild, Senior Technical Advisor NSHE mengatakan masa depan spesies tergantung tidak hanya pada faktor di dalam PLTA Batang Toru saja, tetapi juga di luar lanskap yang lebih luas. “Kami ingin agar sektor swasta, pemerintah, dan masyarakat setempat bergabung untuk meningkatkan konektivitas di dua lokasi utama. Kami juga menyoroti perlunya peningkatan upaya pemantauan untuk mengurangi deforestasi, perburuan, dan meminimalkan konflik manusia-orangutan,” kata Emmy.

Penulis: Dewi Purningsih

Top