Sampah Plastik Lintas Batas, Global Plastics Treaty Tagih Komitmen Dunia

Reading time: 3 menit
Sirkular ekonomi pengumpulan sampah plastik mencapai Rp 1 triliun selama tahun 2019-2020. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Polusi dan pencemaran plastik bersifat lintas batas (transboundary). Global Plastics Treaty lahir karena keprihatinan serbuan sampah plastik. Sebagai negara pendukung perjanjian itu, Indonesia harus ambil sikap dan komitmen agar tidak kelimpahan impor sampah. Selain itu, komitmen dan implementasi Indonesia mengurangi sampah plastik di dalam negeri harus serius.

2 Maret 2022 menjadi hari bersejarah bagi komitmen global untuk memberantas polusi plastik. Pertemuan Majelis Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEA 5.2) di Nairobi, Kenya itu mengeluarkan rancangan resolusi. Tujuannya untuk membuat instrumen internasional yang mengikat secara hukum mengakhiri polusi plastik. Sehingga lahirlah Global Plastics Treaty.

Resolusi ini juga memastikan pembentukan Komite Negosiasi Antar Pemerintah (Intergovernmental Negotiating Committee) yang akan mulai bekerja di tahun ini. Tujuan utama komite tersebut untuk merumuskan rancangan perjanjian global yang mengikat secara hukum. Targetnya akan rampung di akhir tahun 2024.

Kasubdit Tata Laksana Produsen Direktorat Pengurangan Sampah KLHK Ujang Solihin Sidik mengatakan, plastik dianggap sebagai polusi tingkat tinggi dalam resolusi tersebut. Dampaknya mulai dari ekosistem daratan dan laut serta mengancam lingkungan hidup, sosial dan ekonomi.

“Artinya sudah disepakati bahwa plastik telah menjadi polusi bahwa bersifat transboundary. Terutama marine plastic sehingga butuh kerja sama antar negara dengan pendekatan full lifecycle plastic,” katanya dalam acara “Rekomendasi Aliansi Zero Waste Indonesia kepada Pemerintah Indonesia atas Perjanjian Internasional tentang Plastik”, Kamis (28/7).

Perjuangkan Kepentingan Indonesia

Lebih lanjut kata Uso panggilan akrabnya, untuk mengatasi permasalahan sampah plastik, perlu sejumlah pendekatan. Misalnya mulai dari desain, produksi, distribusi, konsumsi, pascakonsumsi hingga guna ulang serta daur ulang pascakonsumsi. Selain itu, pentingnya penerapan circular economy untuk mengakhiri polusi plastik.

Sebab pada pertemuan lanjutan dari perjanjian itu, Indonesia harus memastikan legally binding instrument apakah bersifat mandatory atau voluntary. Selanjutnya, memastikan standar jumlah dan jenis plastik sebagai polusi. Lalu memastikan tidak terjadi kesenjangan Indonesia dengan negara maju lainya dalam proses daur ulang.

Sebagai negara berkembang, Indonesia memiliki kendala utama yakni keterbatasan teknologi dan kapasitas SDM. Selain itu, Indonesia harus memastikan batasan full life-cycle plastic, Indonesia pun harus menghindari duplikasi atau tumpang tindih instrumen yang mengikat secara hukum tentang polusi plastik yang sudah ada.

Tim ESN menunjukkan kondisi pencemaran air di Kota Padang. Foto: Tim ESN

Pertegas Arus Sampah Impor

Pengajar Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia Hadi Rahmat Purnama menilai, Indonesia harus mampu mengambil peran utama dalam negosiasi pertemuan lanjutan. Utamanya, tak sekadar sebagai negara penghasil plastik, tapi juga penerima sampah plastik impor. Jangan lupa, Indonesia pun harus memperjuangkan haknya dalam perjanjian ini.

“Sebab ini akan berimbas pada kemampuan Indonesia untuk mendaur ulang sampah plastik tersebut. Dalam perjanjian internasional selalu ada alih teknologi tapi juga sering kali tak berhasil. Indonesia harus memposisikan diri untuk kepentingan Indonesia dalam negosiasi tersebut,” paparnya.

Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Indonesia Center for Environmental (ICEL) Fajri Fadhillah mengungkapkan, pentingnya upaya pemerintah untuk melakukan pengetatan produksi, konsumsi dan ekspor-impor bahan baku plastik murni.

Saat ini, tambahnya Indonesia membutuhkan 7,2 juta ton bahan baku plastik murni. Sedangkan kebutuhan domestik baru memenuhi kebutuhan tersebut sebanyak 2,3 juta ton.

“Posisi Indonesia kurang menguntungkan karena selain harus mengimpor bahan baku. Indonesia juga harus menangani sampah plastik yang dihasilkan pascakonsumsi,” katanya.

Tak hanya mengatur tentang standar jumlah, perjanjian internasional tersebut, sambung dia perlu mengatur transparansi bahan berbahaya dan beracun dalam plastik. Selain itu juga kandungan mikroplastik dan nanoplastik serta dampaknya pada lingkungan hidup dan kesehatan.

Penulis : Ramadani Wahyu

Editor : Ari Rikin

Top