Jakarta (Greeners) – Kematian gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) yang terseret banjir dan longsor di Kabupaten Pidie Jaya, Provinsi Aceh, menimbulkan duka mendalam bagi dunia konservasi. Peristiwa ini menjadi alarm keras bahwa kerusakan habitat satwa semakin nyata. Satwa liar kini tidak hanya menjadi korban, tetapi juga semakin dekat dengan ancaman kepunahan.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Raden Wisnu Nurcahyo menegaskan bahwa hal tersebut menjadi perhatian yang serius bagi semua pihak agar memerhatikan habitat dari satwa. Tidak hanya gajah saja, melainkan semua binatang harus manusia lindungi. Sebab, wilayah Sumatra memiliki beragam jenis spesies flora dan fauna.
“Jadi, hilangnya habitat karena ulah manusia itu dengan sendirinya juga, flora dan faunanya juga ikut menjadi korban,” ujar Raden melansir Berita UGM, Rabu (3/12).
Menurut Wisnu, banjir bandang akibat alih fungsi lahan perkebunan sawit tersebut mengakibatkan gajah-gajah menjadi terfragmentasi sehingga populasi mereka menjadi semakin terjepit. Selain sawit, habitat asli gajah juga banyak berubah fungsi menjadi area pertambangan, pembangunan jalan, permukiman, hingga perladangan.
Kerusakan bentang alam tersebut tak hanya mengurangi ruang hidup satwa, tetapi juga memaksa gajah terseret hingga ke pemukiman warga. Padahal, menurut Wisnu, gajah membutuhkan ruang yang luas untuk bersosialisasi, bergabung dengan kelompoknya, serta menjalani aktivitas alami seperti mandi, mencari makan, dan berkembang biak di habitat yang aman dan nyaman.
“Tapi dengan adanya kondisi seperti ini, itu akan membuat mereka itu juga semakin terjepit dan terpaksa terseret ke pemukiman,” tambahnya.
Satwa Terancam Punah
Bencana banjir dan longsor yang terjadi di Aceh juga menunjukkan bahwa alam Pulau Sumatra sudah tidak lagi sanggup menahan beban eksploitasi yang terus meningkat. Kerusakan ekosistem membuat kawasan yang seharusnya menjadi rumah aman bagi satwa, kini justru berubah menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup mereka.
Peneliti dan aktivis lingkungan, Rheza Maulana, menyatakan kekhawatirannya bahwa kerusakan ini dapat mendorong satwa, termasuk gajah, semakin dekat menuju kepunahan.
“Bagaimana tidak? Habitat terakhir mereka di bumi ini sebegitu rusaknya, tidak lagi dapat menjadi rumah yang aman dan nyaman untuk menampung gajah. Lantas apa? Semua gajah sumatra akan dirawat secara ex-situ di penangkaran? Wah, kalau itu terjadi maka sudah termasuk “extinct in the wild” atau punah di alam. Kalau gajah tidak ada lagi di alam, lantas semua turunan fungsi ekologis yang disediakan gajah juga akan hilang,” ungkapnya.
Selain itu, gajah juga punya besar bagi ekosistem di hutan. Apabila gajah punah, semua spesies satwa dan tumbuhan yang bergantung pada gajah perlahan akan ikut menghilang. Bahkan, kehidupan manusia juga akan terdampak. Dengan demikian, peristiwa kematian gajah ini menjadi tamparan keras bagi manusia bahwa pola kelola ruang yang business as usual itu sudah gagal.
“Masalahnya, pola tata ruang seperti di Sumatra itu kan juga terjadi di wilayah lain. Di Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan lain-lain,” ujarnya.
Rheza menjelaskan bahwa bencana seperti di Sumatra juga berisiko terjadi di wilayah lain, bahkan mengancam satwa dilindungi jenis lain. Untuk itu, pemerintah harus tegas berkomitmen untuk mejaga alam, perluasan tutupan hutan, dan perlindungan satwa liar di habitat in-situnya.
Kebijakan Membebani Lingkungan
Sementara itu, Rheza juga menilai, bencana yang menyebabkan kematian gajah juga merupakan dampak dari kebijakan yang terlalu membebani lingkungan dan mengabaikan aspek ekologis.
“Kita bisa lihat sendiri kok yang terbawa arus itu adalah kayu gelondongan hasil illegal logging. Alam seolah memberikan ‘barang bukti’ bahwa dirinya sudah sangat tersakiti. Maka, yang terjadi bukanlah bencana alam, tapi kegagalan pemanfaatan sumber daya yang eksploitatif,” ungkap Rheza.
Rheza menambahkan, pemerintah seharusnya bersikap tegas dan menghentikan seluruh aktivitas eksploitasi yang merusak lingkungan. Ia menilai pentingnya mengembalikan fungsi ekosistem sebagaimana mestinya, termasuk pemulihan taman nasional, hutan lindung, dan kawasan konservasi.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































