Emil Salim Kritik Pembangunan Indonesia yang Tidak Berkelanjutan

Reading time: 3 menit
Emil Salim
Profesor Emil Salim, pendiri Yayasan Kehati dalam acara konferensi pers Kehati Award, di Jakarta, Kamis, 16 Januari 2020. Foto: Yayasan Kehati

Jakarta (Greeners) – Ekonom Senior Profesor Emil Salim mengkritik pemerintah yang tidak memerhatikan pembangunan berkelanjutan bagi lingkungan. Menurutnya, sudah saatnya para pejabat negara mengoreksi dan mengubah model pembangunan ekonomi dengan tidak merusak lingkungan dan hutan.

“Nampaknya pembangunan yang kita jalankan saat ini berada di jalur ekonomi saja. Memang laju pertumbuhan naik, infrastruktur maju, tetapi kita juga tidak melihat kemajuan di bidang bidang sosial, kemasyarakatan, dan lingkungan,” ujarnya pada acara Menuju Indonesia Tinggal Landas 2045, Kamis, (18/06/2020).

Emil menuturkan kekayaan alam Indonesia seharusnya dapat dimanfaatkan dengan baik. Namun, dari potensi yang ada, Indonesia justru masih banyak bergantung pada impor khususnya untuk kebutuhan pangan seperti beras dan garam. Ketahanan pangan nasional, kata dia, perlu didasarkan pada komoditas yang lebih beragam dan berimbang antara kebutuhan pangan maupun perkebunan monokultur skala besar.

“Menggantungkan perekonomian hanya pada industri ekstraktif akan berisiko bagi ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

Baca juga: Program Cetak Sawah Berpotensi Meningkatkan Kerawanan Karhutla

Pada 1992, konsep pembangunan berkelanjutan telah dicanangkan dengan tujuan agar polanya tidak hanya berjalan di jalur ekonomi dan bergantung pada Produk Domestik Bruto (PDB). Melainkan juga diperlukan pembangunan di dimensi lain, yaitu pembangunan sosial, peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM), dan lingkungan.

Mantan menteri lingkungan hidup ini juga menyesalkan keputusan pemerintah yang membuka kesempatan bagi investor untuk menebang pohon-pohon langka dilindungi menjadi komoditas komersial. Ditambah dengan program energi yang memprioritaskan penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara.

“Saya risau membaca UU Pertambangan yang memberi kesempatan kepada pengusaha pertambangan. Bagaimana jika di atas tanah itu memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang bisa lebih bermanfaat untuk jangka panjang?” ucapnya.

Kerusakan Lingkungan

Foto: shutterstock.com

Profesor Arif Satria, Rektor IPB University menyampaikan, Indonesia dihadapkan pada krisis lingkungan yang harus segera diatasi. Persoalan sampah, banjir, pencemaran sungai, kerusakan ekosistem laut dan hutan, pemanasan global, pencemaran udara, krisis air bersih, abrasi, hingga pencemaran tanah kerap kali terjadi.

Krisis lingkungan itu pun berdampak pada sumber pangan. Menurut Indeks Ketahanan Pangan Global 2019, Indonesia berada di urutan 62 dunia dan kelima di Asia Tenggara. Selain itu, banyaknya makanan yang terbuang dan tercecer turut berperan terhadap food loss dan food waste di sini. Indonesia menempati urutan kedua setelah Arab Saudi.

“Indonesia tidak bisa sustain merupakan akibat dari krisis tata kelola, krisis pemerintahan, kegagalan para aktor yang berkepentingan di sumber daya alam, dan aspek lingkungan yang tidak diperhatikan,” ujarnya.

Baca juga: Aktivitas Peleburan Aki Bekas Ilegal Masih Berlangsung

Menurut Arif, aspek ekonomi dapat diintegrasikan dengan ekologi. Strateginya meliputi, ekologisasi produksi, yang berarti mengurangi limbah dan pencemaran melalui perbaikan teknologi ramah lingkungan, memperbaiki kerangka regulasi dan pasar agar pro-ekologi, serta menghijaukan nilai sosial dan korporat beserta praktiknya.

Namun terkadang realisasi di lapangan dapat terbentur oleh sistem politik pemerintahan. Arif mengatakan negara memiliki dua peran yang sering bertentangan, yakni sebagai aktor pengguna dan pelindung lingkungan. “Contohnya di kawasan hutan terdapat kandungan batu bara, negara akan dihadirkan untuk memilih antara kelestarian hutan atau batu bara. Jika para aktor kuat di dalam lingkungan pasti akan mengedepankan regulasi pro-lingkungan, jika tidak akan sebaliknya,” katanya.

Oleh karena itu, tata kelola baru yang memadukan antara pendekatan modernisasi ekologi dan ekologi politik diperlukan. Arif menuturkan bahwa pembangunan berkelanjutan harus segera dikembangkan dengan basis keadilan ekologis, seperti yang tercantum dalam Undang-Undang 1945 Pasal 33 Ayat 3 bahwa, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”

“Pasal tersebut mencerminkan bahwa relasi negara-masyarakat dan pasar-masyarakat haruslah berisi muatan keadilan,” ujarnya.

Call For Action untuk Lingkungan

Dr. Amanda Katili Niode, Manager The Climate Reality Project Indonesia yang juga Ketua Tim Ahli Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim menyampaikan, saatnya masyarakat bergerak untuk lingkungan dan menjaga Bumi. Ia menyarankan panggilan untuk aksi (call for action) dapat dimulai dengan mempelajari berbagai masalah, solusi, dampak, dan aksi masalah lingkungan nasional maupun internasional. Komunikasi dan berjejaring dengan pemangku kepentingan seperti pemerintah maupun nonpemerintah, kata dia, juga perlu dibina.

Menurutnya, masalah lingkungan terjadi sejak adanya revolusi industri di Indonesia. Semuanya berfokus pada peningkatan ekonomi dan investasi. “Hal ini yang membuat hubungan kita dengan lingkungan semakin jauh dan sekarang Bumi memberikan reaksi dengan memunculkan krisis alam berbentuk penyakit. Penyakit-penyakit ini akan terus datang selama kita masih belum bisa berubah sementara keanekaragaman hayati sejatinya bisa sangat membantu mengurangi kehadiran penyakit maupun virus,” ucapnya.

Penulis: Dewi Purningsih

Editor: Devi Anggar Oktaviani

Top