Lahan Terancam Proyek Geotermal, Warga Gede-Pangrango Melawan

Reading time: 3 menit
Warga di lereng Gunung Gede Pangrango menolak proyek geotermal yang masuk dalam PSN. Foto: Instagram @jatamnas
Warga di lereng Gunung Gede Pangrango menolak proyek geotermal yang masuk dalam PSN. Foto: Instagram @jatamnas

Jakarta (Greeners) – Warga di lereng Gunung Gede Pangrango kembali menyuarakan penolakan terhadap proyek panas bumi (geotermal) yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Salah satu kekhawatiran utama mereka adalah lahan para petani yang terancam jadi titik pengeboran panas bumi.

Aksi penolakan ini muncul sebagai respons atas surat undangan dari Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), terkait Pemutakhiran Data Penggarap dan Orientasi Batas Area Kerja Eksplorasi PSN Pemanfaatan Panas Bumi di TNGGP seluas 5,46 ha. Undangan itu mereka tujukan kepada puluhan petani penggarap yang lahannya terdampak untuk hadir di Balai Besar TNGGP pada Kamis (17/7).

Lebih dari 100 warga dari Desa Sindangjaya, Sukatani, Cipendawa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat hadir dalam undangan tersebut. Namun, justru kehadiran warga bukan sebagai bentuk dukungan, melankan aksi protes terhadap proyek yang mengancam ruang hidup mereka.

BACA JUGA: Walhi: Proyek Panas Bumi Ancam Sumber Mata Air

Kepala Divisi Advokasi dan Jaringan LBH Bandung, M Rafi Saiful Islam, menjelaskan bahwa sebelumnya, pada Selasa (15/7), TNGGP juga telah mengedarkan surat kepada warga. Surat tersebut menyatakan bahwa akan ada pengukuran lahan, dan pihak TNGGP meminta penggarap hadir di lokasi masing-masing. Dalam suratnya, masyarakat yang tidak hadir diancam tidak diakui sebagai penggarap.

“Surat ini baru warga terima sekitar hari Sabtu atau Minggu sebelumnya, sehingga waktunya sangat mendadak,” ujar Rafi kepada Greeners, Jumat (18/7). Ia menilai langkah ini merupakan bentuk pengusiran sistematis petani dari lahannya untuk mendukung pembangunan proyek geotermal.

Menurut Rafi, pertemuan-pertemuan yang disebut sebagai “sosialisasi” oleh pihak TNGGP hanyalah formalitas dan tidak benar-benar melibatkan warga secara menyeluruh.

“Pemerintah desa tidak netral karena justru ikut memfasilitasi agenda sosialisasi sepihak dari pemerintah dan pengembang, bukan mewakili seluruh warganya. Proyek ini tidak warga butuhkan di tiga desa yang terdampak, ” ungkapnya.

Untuk saat ini, proses pengukuran lahan ditunda sementara akibat adanya protes warga. Saat ini warga pun sedang merencanakan aksi lanjutan untuk menyuarakan penolakan mereka.

Geotermal Berpotensi Gusur Lahan Warga

Rafi menambahkan bahwa proyek geotermal ini berpotensi menggusur lahan-lahan garapan milik warga. Selain itu, terdapat zona radius aman dari titik pengeboran yang dapat berdampak lebih luas.

“Artinya, bukan tidak mungkin rumah-rumah warga pun turut terdampak oleh proyek ini,” katanya.

Penolakan juga datang dari perwakilan warga lereng Gunung Gede Pangrango, Soenarjo Sugiarto, dalam aksi penolakan di Balai Besar TNGGP. “Saya bukan penggarap lahan. Tidak punya tanah garapan. Saya datang ke sini dan menolak geotermal karena mengancam ruang hidup saya,” kata Soenarjo.

Soenarjo menegaskan bahwa warga di tiga desa—Sindangjaya, Cipendawa, dan Sukatani telah secara turun-temurun bermukim dan bertani di kawasan Gunung Gede Pangrango. Menurutnya, warga berhak penuh untuk menolak proyek listrik dari tambang panas bumi yang berisiko bagi kehidupan mereka.

“Panas bumi juga menimbulkan risiko kerusakan lingkungan, termasuk kerusakan mata air dan tanaman pangan. Proyek panas bumi juga memicu gempa bumi, apalagi wilayah Gunung Gede termasuk wilayah yang rentan gempa bumi,” tegasnya.

Penolakan Sejak 2023

Rafi menjelaskan bahwa konflik ini bermula dari proyek geotermal yang berlangsung sejak tahun 2023. Hal ini kemudian memicu aksi penolakan oleh warga.

Namun, pasca-aksi tersebut, pada tahun 2024, salah satu warga yang aktif menolak proyek, yakni Cece Jaelani, justru dipanggil oleh kepolisian Polsek Pacet. Ia dilaporkan karena dituduh menghasut warga melakukan tindak pidana.

Pada sekitar Agustus 2024, Cece kembali dipanggil oleh kepolisian atas laporan dari salah seorang warga. Atas kejadian ini, warga dan aktivis kemudian melaporkan pihak kepolisian Kecamatan Pacet ke Komnas HAM. Sebab, mereka menilai tindakan Cece adalah bentuk perjuangan untuk melindungi lingkungan hidup.

“Tidak ada unsur kekerasan atau kerusakan lingkungan dalam aksi tersebut. Hal ini pun terbukti melalui rekomendasi resmi dari Komnas HAM yang menyatakan bahwa aksi warga adalah bagian dari hak berekspresi dan memperjuangkan hak lingkungan,” kata Rafi.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top