Masih Ada Jalan Lebar bagi Energi Fosil di Tengah Ambisi Transisi Energi

Reading time: 2 menit
Masih ada jalan lebar bagi energi fosil di tengah ambisi transisi energi. Foto: Freepik
Masih ada jalan lebar bagi energi fosil di tengah ambisi transisi energi. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Presiden Prabowo Subianto dalam Sidang Majelis Umum PBB menegaskan kembali komitmen Indonesia untuk memenuhi kewajiban Perjanjian Paris. Organisasi masyarakat sipil menilai bahwa pernyataan tersebut layak mendapat apresiasi. Namun, komitmen ini juga perlu penetapan target dan kebijakan transisi energi yang lebih ambisius.

Kebijakan yang tercantum dalam undang-undang, peraturan pemerintah, hingga Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) harus sejalan dengan Perjanjian Paris. Salah satunya adalah target net zero emission (NZE) Indonesia seharusnya jauh lebih cepat dari 2060.

Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia CERAH, Agung Budiono, menilai bahwa regulasi sektor energi Indonesia saat ini belum mencerminkan komitmen Presiden Prabowo terhadap Perjanjian Paris. Ia menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru sebagai contoh. Kedua regulasi tersebut masih memberi jalan lebar bagi penggunaan energi fosil.

Porsi energi fosil dalam KEN masih mencapai 26,1%-32%. Kemudian, untuk RUPTL juga masih merencanakan tambahan kapasitas pembangkit berbahan bakar gas dan batu bara. Jumlahnya mencapai 16,6 gigawatt (GW) dalam 10 tahun ke depan.

Padahal, lanjut Agung, untuk mencapai komitmen Perjanjian Paris, dunia perlu mencapai net zero pada 2050. International Energy Agency (IEA) juga mengingatkan, target net zero ini hanya dapat terealisasi jika tidak ada lagi ekspansi baru di sektor batu bara, gas, dan minyak bumi.

“Presiden Prabowo sebelumnya juga telah menyatakan akan mendorong penggunaan 100% energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan. Jika target tersebut terealisasi, Indonesia dapat mencapai net zero pada 2050. Karenanya, sudah seharusnya pemerintah merevisi seluruh kebijakan sektor energi dan ketenagalistrikan, mulai dari KEN hingga RUPTL, agar selaras dengan komitmen tersebut,” ujar Agung dalam keterangan tertulisnya, Kamis (25/9).

Hapus Solusi Palsu Atas Nama Transisi Energi

Menurut Agung, pilihan teknologi transisi energi yang termasuk solusi palsu juga seharusnya dihapus dari kebijakan dan perencanaan energi. Pasalnya, teknologi-teknologi yang sekarang berkembang justru tidak menghilangkan ketergantungan pada energi fosil dan emisi karbon yang menyertainya. Teknologi tersebut di antaranya co-firing biomassa dan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS).

“Contohnya, proyeksi bauran biomassa dalam KEN hingga 2050 yang mencapai 7,4%-7,6% hanya akan memperpanjang penggunaan PLTU. Jadi, adanya solusi palsu’ ini akan mempersulit langkah Indonesia untuk meningkatkan bauran energi terbarukan,” kata Agung.

Menurut Direktur Eksekutif Transisi Bersih, Abdurrahman Arum salah satu kebijakan yang juga perlu segera direvisi adalah penggunaan energi batu bara dalam industri hilirisasi. Sebab, saat ini pemerintah masih mengizinkan perusahaan pengolahan hasil tambang untuk membangun PLTU baru sebagai sumber energi utama. Kebijakan ini bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi dan mencapai target NZE sebelum 2060.

“Pemerintah tidak bisa di satu sisi menyatakan komitmen menuju NZE, tetapi di sisi lain justru membuka ruang pembangunan PLTU baru untuk industri smelter. Kontradiksi ini harus dihentikan agar arah transisi energi Indonesia lebih konsisten dan kredibel,” ujar Abdurrahman.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top