Jakarta (Greeners) – Dietplastik Indonesia kembali mendesak Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengembalikan rencana penerapan cukai bijih plastik. Pengenaan cukai ini ditujukan pada bahan baku plastik virgin, bukan sekadar produk atau kemasan plastik.
Dengan adanya cukai plastik ini, beban tidak diberikan sepenuhnya kepada masyarakat melalui kenaikan harga barang. Namun, ditanggung oleh industri hulu yang selama ini meraup keuntungan besar dari produksi plastik mentah.
Direktur Eksekutif Dietplastik Indonesia, Tiza Mafira mengatakan bahwa cukai biji plastik adalah instrumen keadilan. Hal ini sama seperti minuman berperisa yang sudah terbukti berdampak pada kesehatan, plastik pun memberikan beban kesehatan dan ekonomi yang nyata.
“Masyarakat selama ini selalu dikenakan pajak atas konsumsi. Maka wajar jika industri hulu plastik juga harus ikut menanggung konsekuensi dari produk yang mereka hasilkan,” kata Tiza dalam keterangan tertulisnya, Senin (29/9).
Pada tahun 2018, Dietplastik Indonesia bersama tokoh masyarakat menggagas sebuah petisi daring untuk mendorong penerapan cukai plastik. Petisi tersebut berhasil mengumpulkan hampir 1,2 juta tanda tangan dan kemudian diserahkan kepada Kementerian Keuangan.
Pada 2019, Kementerian Keuangan sempat merespons dengan rencana penerapan cukai plastik pada kantong plastik, namun implementasinya tertunda akibat pandemi COVID-19. Pada Januari 2025, rencana tersebut resmi dihentikan karena dianggap cukup diatasi dengan kebijakan non-fiskal pelarangan kantong plastik.
Menurut Dietplastik, krisis plastik bukan hanya soal sampah yang menumpuk, tetapi juga soal kesehatan manusia yang kian terancam. Studi terbaru Lancet Countdown on Health and Plastics mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa polusi plastik menyebabkan ratusan ribu kematian setiap tahun. Bahkan, menimbulkan kerugian 1,5 juta US dolar akibat beban penyakit yang ditimbulkannya.
Plastik dikenal sehari-hari tidak hanya berakhir sebagai sampah. Namun, melepaskan bahan kimia berbahaya dan mikroplastik yang masuk ke udara, air, bahkan ke dalam tubuh manusia.
Instrumen Cukai Bijih Plastik
Dietplastik Indonesia menilai bahwa penerapan cukai bijih plastik akan menjadi instrumen ganda. Instrumen ini dapat menekan laju produksi plastik virgin sehingga berdampak pada berkurangnya polusi plastik, sekaligus menghindari risiko gangguan kesehatan akibat polusi tersebut.
Dengan perancangan yang tepat, penerimaan cukai dapat dialokasikan untuk program kesehatan publik. Bahkan, bisa untuk inovasi pengelolaan sampah rendah emisi, sehingga manfaatnya kembali langsung ke masyarakat.
Penggagas petisi, Nadia Mulya mengungkapkan bahwa banyak tenggat target pengurangan plastik terlewat tanpa hasil nyata, meskipun para pegiat lingkungan telah berupaya keras di berbagai lini. Menurutnya, dukungan pemerintah kini menjadi kunci, khususnya terhadap industri yang masih memproduksi plastik dari bijih virgin.
“Sudah saatnya produsen lebih bertanggung jawab dalam proses produksinya, berinovasi mencari alternatif yang berkelanjutan, serta patuh pada prinsip Extended Producer Responsibility (EPR). Kami mengajak pemerintah, khususnya Bapak Purbaya, untuk segera menerapkan kebijakan cukai plastik. Kami siap mendukung penuh upaya edukasi dan sosialisasinya demi mendorong perubahan nyata,” ujar Nadia.
Tiza juga percaya bahwa keberanian menteri keuangan dalam menerapkan cukai bijih plastik akan menjadi warisan penting bagi kesehatan publik dan masa depan lingkungan Indonesia.
“Plastik mungkin murah diproduksi, tetapi biayanya dibayar mahal dengan nyawa dan kesehatan manusia,” tambah Tiza.
Laporan Lancet Countdown juga menegaskan bahwa intervensi di hulu, yakni pada tingkat produksi, adalah langkah paling efektif untuk mengurangi dampak krisis plastik. Dengan adanya kebijakan ini, Indonesia berkesempatan menunjukkan kepemimpinan global dalam mengatasi polusi plastik sekaligus melindungi kesehatan warganya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































