MK Didesak Segera Putuskan Uji Formil UU KSDAHE Bermasalah

Reading time: 3 menit
Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan mendesak MK untuk segera menjatuhkan putusan atas uji formil UU KSDAHE. Foto: Walhi
Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan mendesak MK untuk segera menjatuhkan putusan atas uji formil UU KSDAHE. Foto: Walhi

Jakarta (Greeners) – Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan mendesak Mahkamah Konstitusi (MK), untuk segera menjatuhkan putusan atas pengujian formil Undang-undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE). Sebelumnya, gugatan ini mereka ajukan karena proses pembentukan UU tersebut tampak tidak memenuhi asas kejelasan tujuan, kedayagunaan, dan keterbukaan.

Kuasa hukum para pemohon, Viktor Santoso menyoroti keterlambatan MK dalam memutuskan perkara tersebut. Ia mengacu pada Putusan MK Nomor 79 Tahun 2019 yang menyatakan bahwa MK wajib memutus permohonan uji formil dalam waktu paling lama 60 hari, sejak permohonan tercatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK).

“Namun, kemudian hitungan 60 hari tersebut diubah dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) bahwa Mahkamah sudah harus memutus Perkara Uji Formil paling lama 60 Hari sejak sejak pemerintah menyampaikan keterangannya,” ujar Viktor dalam keterangan tertulisnya, Jumat (4/7).

BACA JUGA: UU KSDAHE Abaikan Hak Masyarakat Adat dan Partisipasi Publik

Dalam perkara Uji Formil 132/PUU-XXII/2024, presiden telah membacakan keterangannya di persidangan pada 28 April 2025. Jika terhitung 60 hari sejak tanggal tersebut, seharusnya putusan sudah ada paling lambat pada 28 Juni 2025.

Menurut Viktor, ini adalah pertama kalinya MK melewati tenggat waktu 60 hari sejak penetapan ketentuan. Sebagai kuasa prinsipal dalam pengujian ini, Viktor mendorong para pemohon untuk terus mengingatkan MK agar segera memutus perkara tersebut. Ia juga meminta agar MK menyampaikan fakta-fakta baru di lapangan, terutama terkait adanya pelanggaran atas putusan sela, untuk mendukung percepatan putusan.

“Sebab, dengan melewati batasan waktu, hal ini dapat menimbulkan semakin banyak persoalan di lapangan,” tambahnya.

MK Harus Tegas

Putusan MK juga diharapkan tidak hanya menyatakan UU KSDAHE sebagai produk legislasi yang cacat secara prosedur pembentukan. Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Zenzi Suhadi menegaskan agar MK memerintahkan pemerintah dan pihak terkait untuk patuh pada konstitusi. Ia merujuk pada Pasal 18H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 sebagai landasan.

Menurut Zenzi, keberadaan UU KSDAHE berpotensi memisahkan manusia dari wilayah hidupnya. Ia menilai bahwa dalam rujukan pembentukan UU ini, seharusnya tidak tercantum pasal-pasal seperti Pasal 18H ayat (2), Pasal 21, dan Pasal 28I ayat (2), agar hubungan masyarakat dengan wilayah kelolanya tetap terjaga dan menjadi prioritas utama.

“UU KSDAHE cacat ideologis dan fungsional. Pada perubahannya hanya ada penambahan kewenangan DPR. Dampaknya memberikan peluang pengusulan dan pembahasan yang mengakomodasi kepentingan lain. Misalnya, memperbolehkan aktivitas geotermal di taman nasional, atas dasar apa geotermal bisa dilakukan di kawasan konservasi?” tegas Zenzi.

Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan mendesak MK untuk segera menjatuhkan putusan atas uji formil UU KSDAHE. Foto: Freepik

Tim Advokasi untuk Konservasi Berkeadilan mendesak MK untuk segera menjatuhkan putusan atas uji formil UU KSDAHE. Foto: Freepik

Perampasan Wilayah Kelola

Kini, perampasan hak masyarakat adat juga telah terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA, Fikerman Saragih mengatakan bahwa ada pasal-pasal bermasalah dalam UU KSDAHE, khususnya Pasal 5 dan Pasal 8. Kedua pasal tersebut, menurut dia, bisa memicu perampasan wilayah kelola masyarakat adat akibat hadirnya istilah “areal preservasi”.

“Ketentuan areal preservasi ini dapat memicu masuknya wilayah konservasi masyarakat ke dalam aturan tersebut. Ini menjadi satu masalah besar karena negara dapat mengambil keputusan untuk mengambil alih areal konservasi dari tangan masyarakat seperti yang diatur pada Pasal 9 ayat 2 dan 6 UU KSDAHE,” ujarnya

Selain itu, hal ini juga menjadi batu sandungan bagi masyarakat adat yang berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Apabila mereka melakukan konservasi dan negara tidak mengakuinya, maka akan dirampas dan ini menimbulkan tingginya angka kriminalisasi masyarakat adat.

Fikerman menegaskan bahwa MK sebagai penjaga terakhir konstitusi harus memberikan perlindungan. Masyarakat dan komunitas lokal sangat menantikan putusan MK agar wilayah konservasi yang mereka kelola dapat terlindungi dan mendapat pengakuan.

“Harus ada pelibatan masyarakat dalam penyusunan ulang karena mereka adalah pelaku utama konservasi,” ujarnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top