Jakarta (Greeners) – Undang-Undang No 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU KSDAHE) kini tengah menghadapi uji formil di Mahkamah Konstitusi. UU ini tampak masih cacat dalam hukum dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat.
Dalam proses pembentukannya, UU KSDAHE 2024 tidak sesuai dengan asas-asas pembentukan UU dan menyalahi prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation). Khususnya, partisipasi penuh dan efektif dari masyarakat adat dan lokal yang terdampak langsung dengan kawasan konservasi.
Muhammad Arman dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), salah-satu Prinsipal Uji Formil Undang-Undang KSDAHE memaparkan bahwa terdapat tiga alasan utama Prinsipal mengajukan judicial review UU KSDAHE.
Pertama, karena tidak memenuhi asas kejelasan tujuan, tidak memenuhi asas kedayagunaan, dan kehasilgunaan. Selain itu, juga melanggar asas keterbukaan sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022, tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
BACA JUGA: Greenpeace: UU KSDAHE, Komitmen Semu untuk Konservasi Alam
Selain melanggar azas pembentukan UU yang baik, pembentukan UU KSDAHE juga melanggar ketentuan tentang meaningful participation. Hal ini sebagaimana ketetapan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020.
βDalam proses pembentukan UU KSDAHE sama sekali tidak mencerminkan adanya unsur partisipasi yang bermakna, kedayagunaan, kehasilgunaan, serta kejelasan pembentukan UU KSDAHE,” kata Arman di Jakarta, Rabu (7/5).
Ia menambahkan, dari sekitar 20 kali pembahasan, hanya dua kali yang terbuka untuk publik. Kemudian, sisanya berlangsung secara tertutup. Hal ini pemerintah akui dalam persidangan di MK. Kemudian diperkuat dengan saksi yang dihadirkan oleh pemohon, yaitu masyarakat adat Tamblingan. Saksi hadir dalam RDPU di DPR dan Indonesia Parliamentary Center.
“Ini semakin menegaskan ketidakpatuhan pemerintah dan DPR terhadap Putusan MK No. 97/PUUβXIX/2021 tentang meaningful participation,” tambahnya.
UU KSDAHE Tidak Mengatur Hak Masyarakat Adat
Selain itu, Udang-Undang KSDAHE juga tidak mengatur hak masyarakat adat atas Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam proses penetapan kawasan konservasi. Ketiadaan ketentuan ini mencerminkan bahwa keberadaan dan hak masyarakat adat tidak diakui dalam penetapan kawasan tersebut. Sehingga, ketika investasi atau proyek masuk ke dalamnya, masyarakat seringkali tidak terlibat.
BACA JUGA: Masyarakat Sipil Ajukan Pengujian Formil UU KSDAHE ke MK
Padahal, sebagian besar wilayah konservasi juga dilindungi, dijaga, dan dimanfaatkan secara lestari oleh masyarakat adat dan komunitas lokal.Β Namun, hingga kini belum memiliki kejelasan status maupun pengakuan hak tenurial.
Menurut Ketua Tim Kampanye Kawal Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat Anggi Putra Prayoga, ada banyak pasal-pasal bermasalah dalam UU ini. Ada beberapa pasal yang berpotensi besar mengeksklusi masyarakat adat dari wilayahnya. Antara lain pasal 8 ayat 4 dan 5 yang mengatur pembagian areal preservasi.
Areal preservasi bisa dari Kawasan Hutan Lindung, Kawasan Hutan Produksi, dan Areal Penggunaan Lain (APL). Kemudian, pasal 9 ayat 2 juga bermasalah. Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang pemegang hak atas tanah di areal preservasi tidak bersedia melakukan kegiatan KSDAHE, harus melepaskan hak atas tanah dengan mendapatkan ganti rugi.
Anggi menambahkan, selama proses pembahasan berlangsung juga pemerintah tidak melibatkan masyarakat sipil dan masyraakat adat. Hal ini menjadi perhatian publik ketika sebuah produk hukum dan politik dihasilkan.
“Dalam hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan DPR RI, juga minim melibatkan masyarakat sipil dan organisasi lingkungan dan sosial,” kata Anggi.
Menurutnya, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat harus menjadi bagian integral dari kebijakan konservasi. Sebab, sejatinya masyarakat adat terbukti sebagai penjaga kelestarian keanekaragaman hayati di Indonesia.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia