Momentum Investasi Hijau China Dongkrak Transisi Energi dan Ekonomi Indonesia

Reading time: 3 menit
Investasi hijau China dapat mendongkrak transisi energi dan ekonomi Indonesia. Foto: Freepik
Investasi hijau China dapat mendongkrak transisi energi dan ekonomi Indonesia. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Investasi hijau China melalui skema Belt and Road Initiative (BRI) berpotensi mempercepat pembangunan dan transformasi ekonomi Indonesia menuju ekonomi hijau. Khususnya dengan percepatan transisi energi. Pembiayaan ini juga bisa membantu agenda transisi energi Pemerintahan Presiden Prabowo untuk membangun energi surya sebesar 100 gigawatt (GW).

Hal itu terungkap dalam laporan terbaru Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) dan CERAH “Leveraging China’s Green Momentum to Advance Indonesia’s Economic Development”. Laporan ini mengungkap bahwa potensi pembiayaan energi terbarukan lewat skema BRI cukup besar.

Sebagai penerima investasi BRI terbesar di Asia Tenggara, Indonesia pada tahun 2024 mencatat investasi mencapai US$ 9,3 miliar. Investasi ini dapat menciptakan 191.200 lapangan kerja baru. Dari dana tersebut, sekitar US$ 900 juta (setara dengan Rp 14,4 triliun) untuk sektor energi. Kemudian, sebesar 56% untuk proyek energi terbarukan.

“Analisis kami berdasarkan data historis BRI, pembiayaan energi yang bernilai sekitar US$ 900 juta/tahun bisa untuk alokasi pengembangan energi terbarukan selama 10 tahun ke depan. Angka riilnya dalam sepuluh tahun ke depan tentu bisa lebih besar,” kata Direktur Eksekutif SUSTAIN, Tata Mustasya dalam keterangan tertulisnya, Rabu (5/11).

Menurutnya, jika seluruh pembiayaan energi sepenuhnya untuk pengembangan energi terbarukan, maka total pendanaan bisa mencapai US$ 9 miliar. Dana ini bisa untuk pembiayaan energi terbarukan, sesuai dengan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. Selain itu, dana tersebut juga dapat mendukung realisasi ambisi energi surya sebesar 100 GW.

“Skala investasi sebesar Rp 144 triliun ini setara dengan 80 proyek sebesar PLTS Terapung Cirata. Artinya bisa menghasilkan kapasitas gabungan hingga 15.300 MWp, mengurangi emisi karbon 17,12 juta ton, serta menghasilkan 112 ribu lapangan kerja baru, termasuk bagi masyarakat lokal. Dengan kapasitas listrik tersebut, sebanyak 4 juta rumah tangga juga bisa merasakan manfaatnya,” tambahnya.

Kuatkan Kebijakan

Tak hanya itu, investasi hijau China juga dapat membantu Indonesia menjadi hub produksi kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di Asia Tenggara, menyaingi Thailand. Kini ada dua proyek sedang berjalan, yakni pabrik BYD senilai US$ 1,3 miliar di Subang. Kemudian, ada pabrik baterai Contemporary Amperex Technology Co Limited (CATL) di Karawang.

Tata menyebutkan, apabila mengacu pada pembangunan pabrik mobil listrik BYD di Subang, investasi US$ 5,2 miliar atau setara Rp 83,2 triliun untuk pabrik produksi EV berpotensi menciptakan sekitar 72 ribu lapangan kerja langsung.

“Jumlah ini belum termasuk lapangan kerja tidak langsung yang muncul dari rantai pasok dan kegiatan usaha terkait, seperti penyewaan rumah bagi pekerja maupun warung makan lokal,” tambahnya.

Mengacu studi kasus Jawa Barat dengan konsumen listrik terbesar di Indonesia, 30% pendanaan China saat ini atau Rp 42,7 triliun. Hal ini mampu membiayai pembangunan PLTS di Jawa Barat sebesar 3,6 GW dalam RUPTL 2025-2034. Pembangunan PLTS ini akan menciptakan 33 ribu lapangan kerja dan mengurangi emisi karbon 5,14 juta ton/tahun.

Sementara itu, pembangunan pabrik mobil listrik dengan kapasitas empat kali lipat pabrik BYD di Subang dapat mengatasi 4% angka pengangguran di Jawa Barat. Pabrik ini juga menawarkan pendapatan dan perlindungan kerja yang jauh lebih baik dibandingkan sektor informal.

Namun, lanjut Tata, peluang tersebut perlu dukungan penguatan kebijakan dan strategi pelokalan industri. Hal ini bertujuan agar investasi hijau, termasuk dari China, berdampak nyata bagi kesejahteraan masyarakat. Dampak tersebut dapat terlihat melalui penciptaan lapangan kerja dan tersedianya harga energi terbarukan yang lebih terjangkau.

Selain itu, investasi ini juga berpotensi menurunkan subsidi energi secara signifikan. Lebih lanjut, investasi hijau China harus terintegrasi dengan re-industrialisasi hijau di Indonesia.

Untuk memastikan manfaat tersebut benar-benar berkelanjutan, Indonesia juga perlu memperkuat kerangka kebijakan energi, fiskal, dan industri, serta strategi pelokalan.

Libatkan Tenaga Kerja Lokal

Melihat peluang ini, pemerintah juga penting untuk memastikan manfaat ekonomi investasi China bisa terasa ke seluruh lapisan masyarakat, terutama yang tinggal di lokasi proyek.

Dosen Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Ardhitya Eduard Yeremia Lalisang mengungkapkan bahwa peluang pekerjaan yang muncul dari investasi ini juga perlu dipastikan dapat mengikutsertakan tenaga kerja lokal. Bahkan, tidak ada batasan bagi tenaga kerja dengan tingkat pendidikan tinggi saja.

“Untuk itu, regulasi dan implementasinya di lapangan harus berubah dari kerangka top-down ke pendekatan yang lebih berorientasi masyarakat, terutama masyarakat marjinal,” ungkapnya.

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top