Ekspor Batu Bara Anjlok 21%, Perlu Diversifikasi Ekonomi dan Energi

Reading time: 2 menit
Ekspor batu bara Indonesia anjlok 21% jadi ancaman ekonomi nasional. Foto: Freepik
Ekspor batu bara Indonesia anjlok 21% jadi ancaman ekonomi nasional. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Industri batu bara Indonesia sedang menghadapi tantangan besar. Sebab, ekspor batu bara ke Tiongkok turun hingga 21% pada Agustus 2025 dibanding periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini bukan hanya berdampak pada perusahaan tambang. Lebih dari itu, penurunan ini mengancam stabilitas ekonomi nasional, terutama bagi daerah penghasil batu bara seperti Kalimantan dan Sumatra.

Menurut laporan terbaru dari Energy Shift Institute (ESI), penyebab penurunan ekspor ke Tiongkok bukan fluktuasi musiman atau siklus harga global seperti biasanya. Sebaliknya, kondisi ini mencerminkan perubahan struktural dalam permintaan energi Tiongkok. Negeri Tiarai Bambu tersebut kini semakin beralih pada produksi batu bara domestik dan energi bersih.

Tiongkok Ubah Arah Energi: Tantangan Baru bagi Batu Bara Indonesia

ESI mencatat bahwa Tiongkok kini fokus memperkuat kemandirian energi. Hal itu dengan meningkatkan produksi batu bara dalam negeri. Kemudian, memperbaiki sistem logistik energi, dan mempercepat transisi menuju energi terbarukan.

Langkah tersebut menimbulkan risiko jangka panjang bagi Indonesia. Sebab, selama ini Tiongkok menjadi pasar terbesar batu bara Indonesia dengan porsi mencapai 43% dari total ekspor nasional. Risiko yang Indonesia hadapi kini bersifat struktural, bukan sementara. ESI menilai penyesuaian biaya produksi atau mencari pasar baru saja tidak cukup.

“Pemerintah dan industri harus menyiapkan strategi jangka panjang untuk menghadapi perubahan fundamental ini,” ujar Kepala Riset Transisi Batu Bara ESI, Hazel Ilango dalam siaran pers yang diterima Greeners, Kamis (30/10).

Persaingan Harga dan Efisiensi: Batu Bara Indonesia Tersudut

Tantangan terbesar bagi industri batu bara Indonesia saat ini adalah meningkatnya efisiensi produsen batu bara Tiongkok. Dengan biaya produksi yang lebih rendah dan dukungan kebijakan pemerintah, batu bara Tiongkok kini semakin kompetitif di pasar global.

Hal ini membuat eksportir Indonesia sulit menurunkan harga lebih jauh, mengingat terbatasnya kemampuan finansial dan struktur biaya produksi yang tinggi. Akibatnya, pangsa pasar batu bara Indonesia di Tiongkok berpotensi terus menyusut dalam beberapa tahun mendatang.

Selain itu, kebijakan iklim Tiongkok yang mendorong pemanfaatan energi terbarukan turut memperlemah permintaan batu bara impor. Pada 2024, lebih dari 75% pertumbuhan kebutuhan listrik Tiongkok telah dipenuhi oleh sumber energi bersih.

BACA JUGA: Pencabutan Larangan Ekspor Batu Bara Bukti Tak Serius Tangani Krisis Iklim

Penurunan ekspor batu bara ini membawa konsekuensi serius terhadap keuangan negara. Batu bara masih menjadi penyumbang utama pendapatan Indonesia, dengan kontribusi lebih dari Rp 100 triliun pada tahun 2023.

Jika tren pelemahan ekspor berlanjut, pendapatan fiskal pemerintah pusat dan daerah penghasil batu bara akan mengalami penurunan signifikan. Selain itu, kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) untuk menjaga harga batu bara domestik juga terancam tidak lagi efektif.

Kondisi ini menuntut pemerintah untuk meninjau ulang strategi subsidi energi. Selain itu, juga menyeimbangkan antara stabilitas harga jangka pendek dan ketahanan ekonomi jangka panjang.

Masa Keemasan Batu Bara Indonesia Mulai Redup

Hazel Ilango memperingatkan bahwa masa kejayaan ekspor batu bara Indonesia ke Tiongkok telah memasuki fase stagnasi. Penurunan ekspor saat ini mungkin bersifat sementara. Namun, faktor-faktor mendasar menunjukkan adanya pergeseran struktural yang dapat membatasi potensi pertumbuhan sektor ini di masa depan.

Tanpa strategi yang jelas untuk diversifikasi ekonomi dan energi, Indonesia berisiko masuk ke periode stagnasi industri batu bara berkepanjangan. Apalagi, tekanan global untuk transisi energi bersih juga meningkat.

β€œInilah saat yang tepat bagi Indonesia untuk bertindak. Dengan posisi fiskal yang masih kuat, pemerintah dan pelaku industri bisa memanfaatkan momentum ini untuk membangun fondasi ekonomi yang lebih tahan terhadap krisis energi global,” ujar Hazel.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top