Permen LHK 20/2018 Jadikan Burung Terbanyak dalam Jenis Satwa Dilindungi

Reading time: 2 menit
permen lhk 20/2018
Ilustrasi. Foto: Ist.

Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah resmi mencabut dan menyatakan bahwa Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa tidak berlaku. Lampiran tersebut kemudian digantikan dengan Peraturan Menteri LHK Nomor P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Penetapan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.

Dalam lampiran terbaru terdapat perubahan status dari jenis tumbuhan dan satwa yang dilindungi menjadi tidak dilindungi dan sebaliknya. Perubahan ini dilakukan setelah mendapat rekomendasi dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai otoritas keilmuan. Berdasarkan lampiran tersebut, burung menjadi jenis satwa yang paling banyak masuk dalam daftar dilindungi.

Sebanyak 562 jenis burung masuk dalam daftar tersebut atau sekitar 31,73% dari total 1.771 jenis burung yang ada di Indonesia—dalam daftar jenis sebelumnya hanya 437 jenis burung saja yang berstatus dilindungi. Selain itu, sebanyak 27 jenis atau 98% dari total 28 jenis burung di Indonesia yang berstatus kritis (Critically Endangered) berdasarkan Daftar Merah IUCN telah masuk juga ke dalam daftar tersebut—dalam daftar sebelumnya hanya mengakomodir 64% burung berstatus kritis.

BACA JUGA: Seluruh Jenis Burung Paruh Bengkok di Wallacea Kini Dilindungi 

Menurut Mainstreaming Biodiversity Officer Burung Indonesia, Jihad, peraturan baru ini lebih aktual menampilkan kondisi jenis-jenis tumbuhan dan satwa liar yang mengalami penurunan tajam pada jumlah individu di alam karena perubahan ancaman, penurunan populasi, dan juga mengakomodir jenis-jenis endemis yang baru ditemukan.

“Peraturan ini telah mencakup jenis-jenis burung yang saat ini mengalami tren penurunan populasi di alam yang sangat cepat, seperti yang terjadi pada semua jenis burung cica-daun (Chloropseidae) dan beberapa jenis burung kacamata (Zosterops flavus dan Heleia wallacei) akibat banyak diperdagangkan. Sedangkan pada lampiran peraturan sebelumnya, sebagian jenis sudah tidak mencerminkan perkembangan terbaru segi populasi, ancaman, maupun perkembangan ilmu pengetahuan,” kata Jihad kepada Greeners, Selasa (14/08/2018).

Selain karena mengalami tren penurunan yang sangat cepat, jenis yang memiliki populasi kecil dan jenis yang mempunyai persebaran terbatas (endemis) masuk dalam kriteria penetapan perlindungan. Paok morotai (Pitta morotaiensis), kehicap buano (Symposiachrus boanensis), serta beberapa burung jenis baru yang berasal dari proses pemisahan dari jenis lain diketahui memiliki wilayah persebaran yang sangat kecil.

“Selain itu, ada beberapa jenis burung yang sebelumnya dilindungi dan sekarang tidak, seperti misalnya kuntul kerbau (Bubulcus ibis). Jenis ini punya wilayah penyebaran yang sangat luas dan juga jumlah populasi yang sangat besar sehingga tidak memenuhi kriteria sebagai jenis yang dilindungi,” kata Jihad.

BACA JUGA: Jenis Burung Endemis Indonesia Bertambah 

Jihad menjelaskan bahwa ada beberapa cara untuk meningkatkan populasi, diantaranya konservasi jenis burung melalui upaya penelitian, restocking, pengayaan populasi secara ex situ, perlindungan habitat burung yang terancam punah, dan penegakan hukum bagi pemburu liar burung.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Konservasi dan Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE), Wiratno, telah menyatakan agar masyarakat tidak perlu khawatir dengan keluarnya Permen LHK 20/2018. Melalui Permen ini pemerintah dalam hal ini KLHK, ingin agar satwa tersebut terjaga kelestariannya.

Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa di Indonesia sebelumnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Aturan ini mencakup mekanisme pemanfaatan termasuk dalam hal penangkaran satwa.

Penulis: Dewi Purningsih

Top