Jakarta (Greeners) – Setelah Konferensi Iklim PBB (COP30) gagal menghasilkan arahan global yang jelas dan mengikat untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, Indonesia perlu segera memperbaiki tata kelola dan pelaksanaan komitmen iklimnya. Tanpa dasar akuntabilitas yang kuat, janji-janji Indonesia di COP30 bisa saja tidak terlaksana.
Negosiasi akhir “Global Mutirão” tidak secara eksplisit menyebutkan arahan untuk fase keluar dari bahan bakar fosil. Sebab, tidak ada peta jalan (roadmap) yang mengikat sekaligus menggarisbawahi kerapuhan dalam pelaksanaan Nationally Determined Contribution (NDC) oleh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia.
Climate Action Senior Lead World Resources Institute (WRI), Wira A Swadana mengungkapkan isi teks ‘Global Mutirão‘. Di dalam teks tersebut tidak ada frasa yang berhubungan dengan transisi energi, seperti arahan pada fase bahan bakar fosil. Padahal, COP30 memiliki tujuan untuk fokus pada agenda transisi energi.
“Tidak ada roadmap dan masih bersifat voluntary. Jadi tidak mengikat untuk komitmen phase out fosilnya juga tidak jelas,” kata Wira dalam keterangan tertulisnya, Selasa (2/12).
Wira menambahkan, kegagalan mencapai konsensus kuat ini tercermin dari terbatasnya dukungan terhadap deklarasi Belém tentang transisi adil dari bahan bakar fosil. Hanya 24 negara terdampak perubahan iklim yang menandatangani deklarasi tersebut.
Keterbatasan dukungan itu berpotensi menghambat berbagai upaya transisi energi untuk mendapatkan akses Sarana Pelaksanaan (Means Of Implementation/MOI), seperti pendanaan melalui Just Transition Mechanism, dari pihak domestik dan internasional. Namun, ketiadaan komitmen kolektif yang kuat dari negara maju justru berpotensi mengalihkan tekanan kepada negara-negara penghasil bahan bakar asing fosil seperti Indonesia.
Tantangan Akuntabilitas Iklim Nasional
Komitmen iklim nasional Indonesia juga menghadapi tantangan akuntabilitas internal. Menurut peneliti Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Indonesia, Riko Wahyudi, keberhasilan Indonesia mempertahankan emisi di bawah baseline NDC periode sebelumnya tidak lepas dari penurunan aktivitas ekonomi saat pandemi COVID-19. Namun, emisi nasional langsung menanjak dan sudah mendekati baseline begitu pandemi berakhir.
Lebih jauh, Riko menekankan adanya masalah mendasar dalam tata kelola iklim nasional. Menurutnya, tidak semua aksi iklim diukur emisinya, lalu divalidasi dan diverifikasi. Saat ini, hanya aksi yang tercantum dalam NDC yang menjalani mekanisme measurement, reporting, and verification (MRV). Itu pun belum berjalan seragam karena belum adanya mandat sektoral yang jelas.
Ia menilai, cakupan NDC Indonesia juga bisa lebih luas. Namun, bila mandat sektoral tidak jelas tetap akan bermasalah. Kerapuhan ini berisiko besar, terutama ketika Indonesia aktif dalam mekanisme perdagangan karbon internasional di bawah mekansime Artikel 6 Perjanjian Paris.
“Jangan sampai kita aktif di mekanisme internasional seperti perdagangan karbon (Artikel 6), tetapi target NDC sendiri tidak tercapai pada 2030. Karena lucu, sudah jualan target, tapi emisi tidak turun. Maka, kita harus bayar lebih tinggi lagi,” kata Riko.
Peringatan ini menempatkan Indonesia pada titik kritis. Di satu sisi, tekanan global untuk meninggalkan batu bara akan makin deras pasca-CO30 yang tidak menghasilkan kepastian. Di sisi lain, komitmen nasional sendiri belum ada dukungan sistem tata kelola dan eksekusi yang memadai.
“Kalau NDC ini tidak tercapai, capaian kita masih sangat jauh dari target 2030. Jangankan net sink di sektor FOLU (forestry and other land use), net zero pun masih belum tentu. Untuk itu, di sektor energi ke depannya, commitment political will itu penting. Roadmap-nya dibentuk secara komprehensif dan inklusif, safeguard-nya, yang mengintegrasikan GEDSI juga dibentuk, dan upaya transisi energi itu juga dijalankan. Jangan sekedar omongan saja,” ujar Riko.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia











































