Rencana Ketenagalistrikan Nasional Digugat, Jalan Capai NZE Dinilai Keliru

Reading time: 3 menit
Tim Advokasi Bersihkan Indonesia menggugat rencana ketenagalistrikan nasional. Foto: Freepik
Tim Advokasi Bersihkan Indonesia menggugat rencana ketenagalistrikan nasional. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Tim Advokasi Bersihkan Indonesia resmi mendaftarkan gugatan terkait Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2025-2060 pada Jumat (26/9). Gugatan ini tim layangkan karena menurut mereka RUKN memilih cara yang paling boros untuk mencapai target Net Zero Emission (NZE) 2060. Mereka juga khawatir kebijakan ini akan membebani masyarakat melalui harga listrik yang tinggi atau peningkatan subsidi energi.

RUKN yang sah pada Maret lalu memperpanjang operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara hingga 2060, dengan penerapan co-firing biomassa serta peningkatan ketergantungan pada gas. Selain itu, rencana ini mengandalkan teknologi carbon capture and storage (CCS) dan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Total kebutuhan investasi mencapai US$ 1.092 miliar atau sekitar US$ 30,33 miliar per tahun.

Tim advokasi menyebut pendekatan ini jauh lebih mahal ketimbang mendorong energi terbarukan seperti surya dan angin. Studi Institute for Essential Services Reform (IESR) menunjukkan bahwa penghematan hingga sepertiga biaya bisa tercapai jika PLTU dihentikan lebih awal, serta pengurangan penggunaan gas, CCS, dan nuklir.

Selain itu, RUKN 2025-2060 merencanakan 54 gigawatt (GW) PLTU batu bara beroperasi hingga 2060. Puncak operasi mencapai 62,4 GW dengan 5-30% co-firing biomassa. Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry menilai rencana ini menunjukkan pengabaian kebutuhan dan kepentingan rakyat.

Menurut Ashov, Presiden Prabowo Subianto perlu mengecek ulang kebenaran pidatonya kemarin di sidang umum PBB yang menyatakan bahwa ia terpaksa dan tidak punya pilihan dalam menghadapi krisis iklim, selain membangun giant sea wall yang daya rusaknya juga akan sangat hebat.

“Dengan memaksakan PLTU batu bara terus beroperasi yang diperparah dengan kombinasi solusi palsu, pemerintahan Presiden Prabowo sedang menciptakan keterpaksaan dan menyempitkan pilihannya sendiri,” kata Ashov dalam keterangan tertulisnya, Jumat (26/9).

Pemasangan CCS Boros

Pemasangan teknologi CCS demi mereduksi emisi pembangkit listrik batu bara dan gas sesuai RUKN juga tampak tidak realistis dan boros. Di seluruh dunia, CCS baru terpasang di 4-5 PLTU, dengan ketidakpastian biaya yang sangat tinggi. Bahkan, dapat mencapai 12 kali lipat biaya energi terbarukan.

Selain itu, rencana untuk menerapkan co-firing biomassa di PLTU justru akan mendorong deforestasi hingga jutaan hektare. Hal itu demi memenuhi kebutuhan bahan baku biomassa. Tidak hanya itu, RUKN juga memasukkan rencana pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) hingga 35-44 GW. Proporsi biaya investasi tersebut sangatlah besar.

Menurut Program and Policy Manager Yayasan Indonesia CERAH, Wicaksono Gitawan, biaya listrik PLTN juga lebih mahal dari tarif dasar listrik yang pemerintah tetapkan.

“Kemudian, karena keterbatasan cadangan uranium di dalam negeri, justru berpotensi membuat Indonesia harus mengimpor uranium yang dibutuhkan untuk mengoperasikan PLTN hingga akhir usia pembangkit yang umumnya 30 hingga 40 tahun,” imbuhnya.

Rencana Ketenagalistrikan Bertentangan dengan Kebijakan

Sementara itu, RUKN juga bertentangan dengan beberapa kebijakan lainnya. Di antaranya Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Peraturan Presiden (Perpres) No 112 Tahun 2022 yang memandatkan adanya peta jalan percepatan pemensiunan PLTU.

Dalam hal ini, RUKN yang menteri ESDM keluarkan malah mencegah adanya pemensiunan PLTU batu bara. Bahkan, membelokkan kebijakan yang sudah ada dalam RPJPN dan Perpres 112 Tahun 2022.

Dengan demikian, Pengacara Publik LBH Jakarta Alif Fauzi Nurwidiastomo mengungkapkan bahwa gugatan yang diajukan ini untuk mendorong RUKN dicabut. Penggugat juga mendesak agar diterbitkan RUKN baru yang lebih realistis dan dapat menurunkan emisi dari PLTU batu bara. Mereka berharap RUKN tersebut dapat memuat peta jalan pemensiunan PLTU serta menambah porsi energi terbarukan.

“Pemerintah harus ingat bahwa hak atas lingkungan yang baik dan sehat adalah hak asasi manusia yang perlu pemerintah penuhi,” kata Alif.

Tim advokasi menegaskan bahwa komitmen dan target Indonesia bisa mencapai 100% energi terbarukan pada 2060 harus tercermin dalam seluruh kebijakan. Hal ini termasuk di dalam rencana dan program Indonesia.

Menurut mereka, pemerintah dengan bantuan yudikatif, memiliki kesempatan untuk memastikan tidak ada pemborosan dalam RUKN 2025-2060. Caranya adalah dengan mengoptimalkan energi terbarukan dengan manfaat iklim, ekonomi, sosial, dan lingkungan tertinggi.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top