KLHK: Kontaminasi Paracetamol Masih Kategori Emerging Pollutant

Reading time: 3 menit
Pencemaran Paracetamol
Kontaminasi paracetamol di Perairan Jakarta masih dikategorikan sebagai emerging pollutant. Foto: Shutterstock

Jakarta (Greeners) – Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut, kontaminasi paracetamol di Perairan Jakarta perlu kajian lanjutan. Kontaminasi ini belum masuk kategori pencemaran air permukaan dan laut, namun sebagai polutan yang baru Indonesia pelajari (emerging pollutant).

Direktur Jenderal Pengelolaan Limbah Sampah dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati mengatakan, paracetamol tidak termasuk sebagai perhitungan pencemaran air di Jakarta. Hal itu karena paracetamol masuk ke dalam emerging pollutant.

“Paracetamol itu bukan, belum atau tidak menjadi baku mutu atau standar untuk pencemaran air, baik pencemaran air laut maupun pencemaran air permukaan. Sebab paracetamol dan sejenisnya ini disebut sebagai pencemaran yang sifatnya emerging pollutant,” kata Vivien pada media briefing virtual di Jakarta, Selasa (5/10).

Menanggapi hasil riset tim peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) tentang pencemaran limbah paracetamol di Perairan Jakarta itu, Vivien berpendapat, paracetamol memiliki konsentrasi yang sangat kecil dan belum terdapat baku mutu yang terkait.

WHO Belum Mendeteksi

World Health Organization (WHO) juga belum mendeteksi paracetamol sebagai salah satu unsur pencemar lingkungan. Sehingga, paracetamol itu memiliki kemungkinan yang kecil untuk mengganggu kesehatan. Tetapi lanjutnya, KLHK tetap memantau emerging pollutant ini dengan penelitian dan analisis lebih lanjut.

“Kita memiliki perhatian terhadap isu kontaminan of emerging concern ini. Kita memiliki kemampuan peneliti dengan menggunakan peralatan advanced analytics teknik untuk mendeteksi bahan kimia yang konsentrasinya sangat kecil,” ucapnya.

Sebelumnya, BRIN menemukan konsentrasi paracetamol di Teluk Jakarta yang relatif tinggi (420-610 ng/L). Penelitian tersebut terkonsentrasi pada lima titik perairan di Pantai Eretan dan Teluk Jakarta, yaitu Muara Angke, Ancol, Tanjung Priok, dan Cilincing. Dari lima titik, dua titik terdeteksi terkontaminasi paracetamol, yaitu Muara Angke dan Ancol.

Peneliti BRIN Zainal Arifin mengungkapkan, penelitiannya pada kerang selama 24 hari. Hasilnya, kandungan paracetamol dapat menyebabkan kerusakan sistem reproduksi pada kerang.

Namun, Zainal menambahkan, hasil tersebut berdasarkan penelitian di laboratorium dan belum terdapat data pasti apabila paparan pada kerang terjadi langsung di alam.

Pencemaran paracetamol

Perlu kajian lanjutan untuk memastikan cemaran paracetamol di perairan Jakarta. Foto: Shutterstock

Penelitian Lanjutan Polutan 

Pencemaran paracetamol di Jakarta butuh kajian mendalam untuk agar melahirkan penanganan tepat. Apalagi transisi emerging pollutant menjadi bahan mutu lingkungan membutuhkan beberapa tahapan dan penelitian lanjutan.

“Untuk emerging pollutant dan kemudian menjadi bahan mutu lingkungan itu biasanya harus ada data series, pemantauan series sehingga kita menemukan polanya, dari situ kita bisa menentukan baku mutu lingkungannya,” tutur Vivien.

Sependapat dengan itu, Peneliti Institut Pertanian Bogor Etty Riani menilai, kadar paracetamol yang di Teluk Jakarta masih terhitung kecil. Selain itu, paracetamol juga memiliki waktu paruh atau turunnya kadar obat relatif pendek. Hal ini memungkinkan tubuh memetabolisme paracetamol sebanyak 95 % dan sekitar 5 % akan luruh ke lingkungan.

“Karena memang waktu paruhnya pendek dan jumlahnya juga sedikit, sehingga akumulasinya pun juga kemungkinan potensinya akan sangat sedikit,” imbuh Etty.

Terkait penyebab ekosistem perairan terkontaminasi, menurut Etty pembuangan obat kedaluwarsa sembarangan menjadi salah satu penyebabnya. Untuk mencegah pencemaran secara terus-menerus, ia menilai sosialisasi penanganan pembuangan obat pada masyarakat perlu penguatan agar tidak menimbulkan gangguan ke lingkungan.

“Jangan abai, kita sebaiknya melakukan sosialisasi secara kontinu bahwa obat ini adalah racun yang nanti bisa menjadi emerging pollutant. Barangkali yang perlu lagi adalah kita harus membatasi peredaran paracetamol,” ucapnya.

Kolaborasi Perbaiki Kualitas Perairan

Dalam kesempatan itu, Plt. Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Sigit Reliantoro mengungkapkan, tantangan penanganan pencemaran air di Teluk Jakarta. Ia menyebut, Teluk Jakarta merupakan muara dari 13 sungai. Melihat dari segi daya dukung dan daya tampung memang sebagian besar dari Jakarta, yang juga dapat pengaruh oleh daerah di sekitarnya.

“Upaya paling efisien untuk penanganannya sejak dari sumbernya. Jadi masing-masing daerah melakukan identifikasi sumber pencemarnya. Jadi kunci utamanya yaitu kolaborasi untuk perbaikan kualitas air laut di Jakarta khususnya,” kata Sigit.

Sebagai tindakan lanjutan, KLHK dan BRIN akan membentuk working group pengelolaan contaminants of emerging concern, bekerja sama dengan kementerian terkait dan perguruan tinggi. KLHK juga bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk sosialisasi ke masyarakat tentang penggunaan obat-obatan terutama obat yang tersedia bebas di pasaran.

Penulis : Zahra Shafira

Top