COP30 Berakhir, Komitmen Aksi Iklim Masih Lemah

Reading time: 2 menit
Greenpeace menilai Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-30 (COP30) di Belém, Brasil tidak menghasilkan peta jalan yang jelas. Foto: Filipe Bispo / Greenpeace
Greenpeace menilai Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-30 (COP30) di Belém, Brasil tidak menghasilkan peta jalan yang jelas. Foto: Filipe Bispo / Greenpeace

Jakarta (Greeners) – Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-30 (COP30) yang berlangsung di Belém, Brasil, telah berakhir. Greenpeace menilai bahwa pertemuan ini usai tanpa menghasilkan peta jalan yang jelas untuk mengatasi krisis iklim.

Dalam perundingan antarnegara tersebut, tidak tercipta kerangka yang kuat untuk mengakhiri penggunaan energi fosil (transitioning away from fossil fuel roadmap), menghentikan deforestasi (halting and reverse deforestation roadmap), maupun meningkatkan pendanaan bagi aksi iklim. Alhasil, COP30 tidak membuahkan hasil karena posisi negara-negara yang terbelah di meja perundingan.

Sejak awal COP30, Greenpeace telah mendorong tercapainya kesepakatan mengenai rencana aksi untuk menghentikan deforestasi selambat-lambatnya pada 2030 (Forest Action Plan). Selain itu, juga rencana respons global (Global Response Plan) untuk menjembatani kesenjangan ambisi 1,5°C. Greenpeace juga menekankan pentingnya pendanaan iklim, termasuk melalui mekanisme pencemar membayar (Make Polluters Pay).

BACA JUGA: Jangan Anggap Biasa Cuaca Ekstrem, Ini Alarm Krisis Iklim

Desakan tersebut juga banyak publik suarakan, termasuk masyarakat adat dan berbagai kelompok lain yang turun ke jalan-jalan di Belém dalam Climate March dan Indigenous Peoples’ March. Namun, konferensi iklim pertama di hutan Amazon ini gagal menghasilkan tiga hal tersebut. Teks kesepakatan yang lemah diketok pada Sabtu siang waktu Belém. Rapat pleno tersebut diwarnai penolakan dari Kolombia dan sejumlah negara Amerika Latin terhadap minimnya progres mitigasi iklim.

Serukan Peta Jalan COP30

Direktur Eksekutif Greenpeace Brasil, Carolina Pasquali, mengatakan bahwa Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva telah memasang standar tinggi dengan menyerukan pentingnya peta jalan untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil dan deforestasi. Namun, lanskap multilateral yang terbelah justru merintangi upaya tersebut.

“Kita berada di persimpangan jalan, di antara menahan laju kenaikan suhu Bumi di bawah 1,5°C dan jalan tol menuju bencana iklim yang katastrofik. Kendati banyak negara yang mau mengambil aksi nyata. Ada segelintir negara dengan kekuatan besar yang menghambat,” kata Carolina dalam keterangan tertulisnya, Minggu (23/11).

BACA JUGA: Pengaruh Krisis Iklim bagi Kesehatan

Menurut Carolina, hasil yang lemah ini tidak adil mengingat apa yang sudah terjadi di Belém dalam dua pekan terakhir. COP30 berlangsung dengan partisipasi yang signifikan dari masyarakat adat. Perjuangan tersebut bahkan berbuah kebijakan demarkasi yang mengamankan 2,4 juta hektare tanah masyarakat adat di Brasil.

“Lahirnya peta jalan untuk menghentikan energi fosil dan deforestasi, serta dukungan pendanaan, sebenarnya akan menjadi hasil yang bersejarah. Namun, perjuangan ini akan terus berlanjut,” ujarnya.

Buruknya Komitmen Iklim Indonesia

Sementara itu, bagi publik di Indonesia, COP30 menjadi momen yang menunjukkan betapa buruknya komitmen iklim pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Selain ambisi Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang dinilai tidak memadai, pemerintah juga tidak menunjukkan langkah progresif dalam proses negosiasi. Padahal, lebih dari 80 negara telah mendesak adanya peta jalan untuk meninggalkan energi fosil.

Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak, mengungkapkan bahwa sebagai negara besar, Indonesia seharusnya tampil dengan komitmen iklim yang ambisius. Komitmen tersebut perlu disertai diplomasi untuk mendapatkan dukungan pendanaan iklim yang nyata dari negara maju serta memastikan transisi yang berkeadilan. Namun, menurutnya, Indonesia justru lebih fokus menjual karbon di paviliun yang kehadirannya mendapat sponsor dari berbagai perusahaan pencemar.

“Ini seperti membuang muka dari penderitaan masyarakat di tanah air yang menanggung dampak krisis iklim dan kerusakan lingkungan hidup akibat aktivitas industri pencemar tersebut,” kata Leonard.

Selain itu, reputasi Indonesia juga mendapat sorotan setelah Climate Action Network (CAN) menobatkannya sebagai “Fossil of the Day” pada 15 November lalu. CAN merupakan jejaring yang beranggotakan 1.900 organisasi masyarakat sipil sedunia.

Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik mengatakan bahwa pemerintah semestinya tidak menganggap penyematan tersebut sebagai angin lalu. Namun, mereka perlu bebenah dan bergerak untuk keluar dari jebakan industri fosil. Salah satunya dengan mengakhiri penggunaan batu bara, sebab tanpa itu komitmen transisi energi Indonesia akan sia-sia.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top