Saksi Ahli Lingkungan Hidup Digugat, Kebebasan Akademik Terancam

Reading time: 3 menit
saksi ahli lingkungan hidup
Foto: greeners.co/Dewi Purningsih

Jakarta (Greeners) – Gugatan Perbuatan Melanggar Hukum (PMH) oleh PT Jatim Jaya Perkasa (JJP) terhadap Prof. Bambang Hero Saharjo, akademisi dan saksi ahli lingkungan hidup, merupakan ancaman terhadap kebebasan akademik saksi ahli lingkungan hidup dan dapat membahayakan upaya-upaya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup Indonesia. Forum Akademisi dan Masyarakat Sipil Peduli Basuki – Bambang meminta pemerintah untuk menegakkan Pasal 66 UU 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup untuk menjamin keamanan para pejuang lingkungan hidup.

Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Henri Subagiyo, mengatakan, hal ini menjadi sebuah fenomena yang dikhawatirkan akan merusak tatanan hukum ketika keterangan seorang saksi ahli yang sifatnya adalah sebagai bahan pertimbangan dan tidak mengikat menjadi objek gugatan dan menjadi dasar pencegahan hukum atas vonis yang sudah diputuskan oleh hakim terhadap JJP. Di samping itu, gugatan kepada saksi ahli juga dikhawatirkan akan menjadi preseden buruk sehingga banyak ahli-ahli yang kemudian tidak bersedia memberikan keterangan yang dibutuhkan dalam suatu kasus.

“Yang harus digarisbawahi adalah pejuang lingkungan hidup tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata sesuai pasal 66 UU 32 tahun 2009 serta dalam pasal 76 UU 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Apabila terdapat ketidaksesuaian secara akademik, maka langkah yang sepatutnya dilakukan adalah melakukan peer review mechanism dan bukannya mengajukan gugatan kepada saksi ahli,“ ujar Henri pada konferensi pers “Intimidasi Hukum Bagi Civitas Akademik“ di Hotel Santika Slipi, Jumat (19/10/2018).

BACA JUGA: Walhi Anggap Restorasi Gambut Lamban, KLHK Terus Maksimalkan Pemulihan 

Gugatan JJP datang pada 17 September 2018 pasca perusahaan tersebut ditetapkan sebagai tersangka atas kasus kebakaran hutan dan lahan di areal konsesinya seluas 1.000 hektare pada 2013 lalu oleh PPNS KLHK dan divonis dengan berbagai tuntutan dari PN Jakarta Utara, PT Rokan Ilir, PT DKI Jakarta dan Mahkamah Agung. JJP menggugat Prof Bambang Hero karena diduga melakukan perbuatan melanggar hukum dan harus membayar seluruh kerugian yang dialami perusahaan tersebut sebesar Rp 510 miliar, meliputi biaya operasional, pengurusan masalah lingkungan hidup, biaya akomodasi dan biaya lainnya sebesar Rp 10 miliar serta kerugian moril sebesar Rp 500 miliar.

“Saya memberikan keterangan di peradilan, tentu dengan memperhatikan bukti-bukti yang ada dan ilmu yang saya miliki. Hasil analisa laboratorium, bukti – bukti di lapangan menunjukkan adanya bukti terbakar dan pH tanah yang meningkat,” ungkap Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr., Guru Besar Kehutanan IPB dan Ahli Kebakaran Hutan dan Lahan.

Wiwiek Awiati pengajar Fakultas Hukum di Universitas Indonesia mengatakan bahwa dalam UU No. 12 Tahun 2011, pasal 8 ayat 1 dan 2 menyatakan bahwa dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik dan otonomi keilmuan. Upaya-upaya pengembangan ilmu pengetahuan pun harus menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan perabadan dan kesejahteraan umat manusia.

“Di sisi lain, dalam pasal 224 KUHP ada kewajiban hukum bagi seseorang yang dipanggil menjadi saksi ahli di pengadilan. Oleh karena itu, negara sudah sepatutnya memberikan perlindungan hukum kepada mereka yang telah menjalankan kewajiban tersebut. Terlebih lagi hakim yang menangani perkara telah menilai kapasitas ahli tersebut,“ jelas Wiwiek.

BACA JUGA: BMKG: Waspada Potensi Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera dan Kalimantan 

Senada dengan hal itu, Martua T. Sirait dari Forest Watch Indonesia (FWI) mengatakan bahwa dari pantauan FWI selama ini, memang ada banyak intimidasi yang terjadi. Intimidasi yang sering kali dihadapi oleh aktivis lingkungan adalah pasal pencemaran nama baik dan perlakuan tidak menyenangkan ketika menyampaikan pandangan yang kritis.

“Intimidasi ini sudah naik level dan menyerang secara lebih dalam. Tidak lagi kepada NGO tapi juga kepada saksi ahli dalam persidangan. Namun melihat banyaknya dukungan baik dari kalangan akademisi maupun masyarakat sipil, saya percaya dan lebih yakin, kalau hal yang serupa terjadi pada kami, kami tidak takut,” tegas Martua.

Penulis: Dewi Purningsih

Top